May Day 2018, Saatnya Kaum Buruh Membentuk Alat Politiknya Sendiri Di Luar Partai Politik Peserta Pemilu; Tak Ada Kesejahteraan Tanpa Demokrasi!

Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur (APBJ) mengajak seluruh gerakan rakyat untuk bangkit membangun kekuatan politik alternatif demi mewujudkan Indonesia berkadilan. May Day 2018 akan menjadi ajang penegasan komitmen gerakan buruh terhadap kepentingan seluruh rakyat Indonesia dalam meraih demokrasi dan kesejahteraannya. Ajakan terbuka pembentukan alat politik alternatif yang mandiri dan bebas dari pengaruh elit politik penguasa.

Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur (APBJ) adalah persatuan terbuka berbagai organisasi buruh di Jawa Timur yang independen dan konsisten dalam garis perjuangan rakyat. APBJ beranggotakan FSRP-KSN, FBTPI-KPBI, SPBI, SP Danamon, Wadas, dan KontraS Surabaya. APBJ menilai bahwa dalam tahun-tahun politik sekarang, gerakan buruh dihadapkan pada situasi pertarungan kekuatan elit politik dan partai-partai peserta pemilu dalam perebutan kekuasaan. Partai-partai peserta pemilu yang tidak memiliki track record dan konsistensi yang baik dalam perjuangan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Para elit politik penguasa yang tidak pernah komitmen dalam penegakan dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Sehingga tahun politik ini bukanlah menjadi tahun-tahun yang bermanfaat untuk kemajuan taraf hidup kesejahteraan rakyat, namun hanya sekedar menjadi ajang jual beli suara rakyat demi melanggengkan kekuasaan elit politik dan partai-partai politik peserta pemilu. Menurut data Jatam -Laporan Jaringan Advokasi Tambang- menyebutkan sepanjang 2017 dan 2018, ketika ramai Pilkada, ada 170 izin tambang dikeluarkan yang patut dicurigai berhubungan dengan ijon politik. Di Jawa Barat, ada 34 izin tambang muncul pada 13 Februari 2018 atau dua pekan sebelum penetapan calon kepala daerah, di Jawa Tengah ada 120 izin tambang diterbitkan 30 januari 2018. Di Jawa Timur sendiri, fenomena penunjukan Plt Bupati/Walikota menjelang pelaksanaan Pilkada juga tak bisa dianggap luput dari kepentingan mengamankan kepentingan pemilik modal. Seperti kita ketahui, sumber gas alam di Jombang yang dimiliki hak kelolanya oleh Lapindo juga sedang melakukan eksplorasi. Masyarakat sekitar yang berpotensi terdampak oleh tambang ini bereaksi karena tidak ingin terusir dari tanah kelahirannya dan rusaknya lingkungan akibat pengeboran nantinya. Apakah kemudian dalam proses eksplorasi tersebut, pihak masyarakat dilibatkan dan diberikan ruang demokratis untuk memberikan persetujuan? Tidak! Pemilik modal dan pemerintah daerah terkesan diam-diam dalam melakukannya.

Meskipun berbagai janji kampanye disampaikan secara terus menerus di ajang-ajang terbuka dan media-media massa, namun janji-janji ini hanya sebatas janji kosong yang selalu diingkari setelah para elit politik meraih kursi kekuasaan kembali. Rakyat tak lebih hanya sebagai legitimasi 5 tahunan dan nasib rakyat terus dalam kondisi terpuruk. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun parlemen hasil pemilu adalah kebijakan yang mewakili kepentingan kaum pemilik modal yang jumlahnya tak lebih dari 1% penduduk Indonesia. 99% rakyat Indonesia tak punya ruang dalam menentukan arah kebijakan negara dan tak punya kesempatan menentukan nasibnya sendiri. Lahirnya UU MD3 adalah wujud dari sikap anti demokrasi dari para elit politik kekuasaan yang tidak mau menerima kritik dari rakyatnya. Hal ini akan semakin memuluskan setiap kebijakan pro modal yang dikeluarkan oleh elit politik di parlemen. Pemerintah yang tak memperdulikan suara kaum buruh memaksakan mengeluarkan dan memberlakukan PP 78/ 2015 tentang pengupahan yang semakin merampas kesempatan buruh untuk mendapatkan upah yang layak. Keberpihakan pemerintahan Jokowi-JK kepada kepentingan investasi semakin tak terbantahkan dan semakin mengabaikan nasib kaum buruh sebagai tenaga produktif yang justru seharusnya didukung agar mendapatkan upah layak demi peningkatan kapasitas mereka. Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap UU Ketenagakerjaan terus berlangsung meskipun upaya dari serikat buruh untuk menghadang terus digencarkan. Demi kepentingan investasi, dinas tenaga kerja sebagai kepanjangan tangan pemerintah berlomba untuk melepaskan pengusaha yang melanggar dari jeratan hukum. Hal ini tentu saja sangat merugikan para buruh dan menunjukan betapa pembangunan di era Kepemimpinan Jokowi-JK ini abai terhadap kepentingan mayoritas rakyatnya.

Lahirnya berbagai Mou antara militer dan kementrian serta MoU antara militer dengan kepolisian juga tak lepas dari kepentingan untuk memuluskan masuknya investasi dan meletakkan pemenuhan hak-hak buruh dan rakyat sebagai ancaman terhadap investasi. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kriminalisasi dan kekerasan kerap terjadi dalam konflik agraria dan TNI menjadi salah satu aktor kekerasan tersebut, disamping Polisi dan preman. Tercatat sepanjang tahun 2017 ini, 13 warga negara tewas, 6 orang tertembak dalam konflik agraria. Kemudian, sebanyak 612 warga negara menjadi korban kekerasan dalam peristiwa konflik agraria, dan dari jumlah tersebut sebanyak 369 diantaranya ditahan (kriminalisasi) dan sebanyak 224 orang dianiaya. Di Pilkada 2018, lima jenderal aktif dari TNI dan Polisi bahkan maju dalam pilkada. Sekali lagi, TNI adalah alat negara, bukan alat kekuasaan.

Menjelang momentum peringatan May Day sebagai hari perjuangan paling bersejarah bagi kaum buruh, pemerintah dan aparaturnya begitu gencarnya melakukan upaya penggembosan dan pembelokan semangat perjuangan kaum buruh. Satu Mei yang ditetapkan menjadi hari libur nasional agar dapat digunakan oleh kaum buruh untuk memperingati tonggak sejarah perjuangannya, justru dibelokkan oleh pemerintah dengan seruan dan ajakan untuk hura-hura dan acara-acara liburan yang jauh dari makna perjuangan buruh. Ini tak lebih demi kepentingan menjauhkan buruh dari penyatuan kekuatannya dan ketakutan pemerintah terhadap gugatan kaum buruh terhadap ketimpangan sosial yang selama ini terjadi akibat penghisapan dan penindasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pemilik modal dan pemerintah yang berkuasa.

Di luar kekuatan partai-partai penguasa, kelompok elit yang mengaku oposisi lebih banyak bertujuan untuk memperkuat posisi tawar di hadapan elit pemerintah. Tak ada dari kelompok ini memobilisasi besar-besaran untuk isu rakyat. Meski para elit berseteru, mereka tetap sepakat untuk membiarkan penguatan militerisme, fundamentalisme, patriarki, korupsi, dan kapitalisme-neoliberalisme. Kedua kekuatan politik yang ada saat ini, baik oposisi maupun penguasa, juga terus memperdalam agenda-agenda neoliberalisme-kapitalisme ke bumi Indonesia. Bahkan, kesediaan Indonesia menggelontorkan sumber daya untuk menjamu pertemuan 15 ribu delegasi IMF dan Bank Dunia pada Oktober 2018 merupakan dukungan nyata. Rancangan World Development Report Bank Dunia sendiri, seperti diberitakan The Guardian pada Jumat 20 April 2018, malahan merekomendasikan penurunan upah minimum dan mempermudah pemecatan buruh. Laporan itu rencananya akan diluncurkan pada 2019

Partai-partai yang duduk dan tidak duduk di pemerintahan juga mengabaikan menguatnya patriarki. Partai-partai tak memperdebatkan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berpotensi memenjarakan perempuan dan memperkuat diskriminasi. RUU itu juga akan semakin memperlemah posisi perempuan dalam melawan kekerasan seksual, alih-alih malah rentan disalahkan meskipun menjadi korban.

Menyerukan Pembangunan Kekuatan Politik Alternatif

Melihat fakta bahwa tidak ada satu partai politik pun, baik partai lama maupun partai baru yang mewakili kepentingan rakyat, maka Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur menyatakan sikap: “Saatnya kaum buruh memimpin gerakan rakyat untuk membentuk alat politiknya sendiri, sebuah alat politik alternatif yang mandiri guna mewujudkan cita-cita Indonesia yang berkeadilan”.

  1. Menuntut kepada pemerintah yang berkuasa untuk segera mencabut kembali PP 78/2015 yang menyengsarakan kaum buruh dan menuntut pemberlakuan upah layak nasional.
  2. Menuntut kepada pemerintah untuk menghapus sistem kontrak dan outsourcing.
  3. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya demi tegaknya kemanusian di Indonesia.
  4. Menuntut kepada pemerintah untuk mengembalikan subsidi rakyat dan menurunkan harga-harga kebutuhan pokok.
  5. Bangun industrialisasi nasional yang kuat dan mandiri.
  6. Untuk melaksanakan industrialisasi nasional itu, kami menuntut kepada pemerintah untuk menangkap, mengadili, memenjarakan semua pelaku korupsi dan menyita seluruh hartanya untuk digunakan pembiayaan pembangunan industrialisasi nasional.
  7. Nasionalisasi aset-aset bangsa yang dikuasai asing.
  8. Dalam mewujudkan reforma agraria sejati, kami menuntut kepada pemerintah untuk membatalkan ijin penguasaan lahan oleh korporasi-korporasi swasta dan mengembalikan kepada negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
  9. Menuntut pemerintah untuk menghentikan penambangan dan pembangunan infrastruktur yang merampas hak hidup rakyat.

Dan kami menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan rakyat untuk bersama-sama turun ke jalan pada 1 Mei 2018 guna menyuarakan hak-hak kesejahteraannya bersama dengan Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur.

Afik Irwanto
Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur
082233922151

Sebarkan !