Pada tanggal 28 Februari 2024, di sela-sela rapat pimpinan TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto. Pangkat jenderal kehormatan itu diberikan oleh Presiden Jokowi atas usulan Mabel TNI karena Prabowo dianggap telah memberikan kontribusi yang luar biasa pada kemajuan TNI dan negara.
Bagi kami dan komunitas HAM di Indonesia, tindakan Presiden Jokowi ini adalah bentuk penghinaaan kepada para korban pelanggaran HAM, dan semakin mempertegas bahwa Presiden Jokowi memang tidak punya komitmen atas HAM.
Sikap Mabes TNI yang menjadi pihak pengusul dalam pemberian tanda kehormatan ini menunjukkan bahwa TNI telah menormalisasi setiap instruksi dan perintah yang dilakukan para pejabatnya yang memuat serangkaian kejahatan HAM. Selain itu, sikap ini juga mecerminkan posisi TNI yang belum mampu professional dan cenderung terlibat dalam politik praktis.
Prabowo, sebagaimana telah diketahui secara luas (baik berdasarkan hasil Keputusan Dewan Kehormatan Perwira, penyelidikan Komnas HAM, maupun pengakuan yang bersangkutan sendiri di depan publik) adalah pejabat TNI yang bertanggungjawab dalam peristiwa penculikan aktivis di masa penghujung kekuasaan Orde Baru pada tahun 1997 – 1998. Peristiwa ini, berdasarkan hukum adalah peristiwa Kejahatan HAM. Dan Presiden memiliki mandat untuk menyelesaikannya.
Perlu kami ingatkan, bahwa pada tahun 2009, Pansus Orang Hilang DPR RI telah mengeluarkan 4 rekomendasi yang ditujukan kepada Presiden dan pemerintah, yaitu :
Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang.
Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Tapi, alih-alih menindaklanjuti rekomendasi DPR RI, Presiden justru bergandangan erat, memberikan jabatan strategis di pemerintahannya dan menyematkan beragam penghargaan kepada orang yang paling bertanggungjawab dalam peristiwa penculikan aktivis 1997-1998.
Kegagalan pemerintah di era Presiden SBY dan Presiden Jokowi menindaklanjuti rekomendasi DPR RI, dan menyeret Prabowo Subianto untuk diadili dalam pengadilan HAM Ad Hoc bukan berarti kemudian bisa disimpulkan Prabowo tidak bersalah, tapi sebaliknya hal ini menujukkan impunitas masih menjadi masalah utama dalam akuntabilitas hukum di Indonesia.
Ketika seorang kriminal tidak atau belum dihukum, itu bukan berarti si kriminal adalah orang yang benar, tapi karena si kriminal tersebut memiliki kekuatan yang besar untuk menghindar dari jangkauan hukum.
Kami mengutuk keras atas diberikannya pangkat kehormatan kepada seorang purnawirawan yang sepatutnya diduga penjahat HAM.
Oleh karena itu, Federasi KontraS dan KontraS Surabaya mendesak:
- Presiden Joko Widodo untuk mencabut penghargaan jenderal bintang empat kehormatan yang telah diberikan pada Prabowo Subianto;
- Presiden beserta jajarannya menjalankan 4 rekomendasi Pansus Orang Hilang DPR RI yang dikeluarkan pada tahun 2019, yaitu :
- Membentuk pengadilan HAM ad hoc,
- Mencari 13 orang korban yang masih hilang,
- Merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan
- Meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia;
- Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
- Komnas HAM RI memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
- TNI-POLRI untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.
Jakarta, 28 Februari 2024
Federasi KontraS
KontraS Surabaya