Pernyataan Sikap Atas Tindakan Persekusi, Intimidasi, dan Pembubaran Paksa terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya

Sabtu, 1 Desember 2018, kembali terjadi intimidasi oleh aparat keamanan dan organisasi masyarakat (ormas). Intimidasi tersebut berawal sejak mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) menyerahkan surat pemberitahuan ke Polda Jawa Timur, tanggal 28 November 2018, terkait rencana aksi demonstrasi yang akan dilakukan pada tanggal 1 Desember 2018. Berdasarkan keterangan seorang mahasiswa Papua yang menolak untuk disebutkan namanya, didapat beberapa fakta bahwa aparat kepolisian Polda Jawa Timur sempat mempersulit mahasiswa untuk memberikan surat pemberitahuan. Para mahasiswa menjelaskan bahwa mereka terus dilempar-lempar dari satu divisi ke divisi lain, sebelum kemudian pihak kepolisian menyatakan menerima surat pemberitahuan tersebut dengan catatan “akan dilakukan penelitian lebih lanjut.”

Setelah penyerahan surat pemberitahuan, upaya intimidasi kepolisian terhadap mahasiswa Papua semakin meningkat, upaya-upaya intimidasi tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian melalui sambungan telepon dan pesan singkat melalui WhatsApp (WA). Dalam telepon dan pesan singkat WA tersebut, pihak kepolisian secara terang-terangan meminta mahasiswa Papua untuk membatalkan acara demonstrasi dengan alasan akan ada aksi tandingan yang dilakukan oleh ormas untuk membatalkan kegiatan mereka. Tidak hanya pihak kepolisian, pada tanggal 30 Desember 2018 intimidasi juga dilakukan oleh beberapa kelompok ormas yang terdiri dari Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) dan Pemuda Pancasila (PP), dengan cara melakukan pemasangan banner (spanduk) tapa izin di depan asrama mahasiswa Papua, disertai dengan umpatan-umpatan kasar.

Upaya intimidasi terhadap mahasiswa Papua mencapai puncaknya pada aksi demonstrasi yang dilaksanakan Sabtu, 1 Desember 2018. Aksi demonstrasi yang dimulai dari Monumen Kapal Selam, Surabaya, menuju ke Gedung Grahadi tersebut diikuti oleh mahasiswa Papua se-Jawa dan Bali, dengan jumlah peserta mencapai sekitar 230 orang. Aksi berlangsung sejak pukul 06.00 WIB dan mendapat pengawalan yang ketat dari aparat kepolisian, yakni Polrestabes Surabaya dan Polda Jawa Timur. Sesuai pemantauan yang dilakukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya di lapangan, terlihat ada sekitar 400 personil kepolisian yang diturunkan, dengan bersenjata tongkat serta tembak gas air mata. Terlihat juga dua mobil water canon, dan satu mobil K9. Selain aparat kepolisian, turut hadir yakni Satpol PP, Linmas, hinga tentara. Berikut kronologis peristiwa intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya:

Pada pukul 06.00 WIB, sejumlah mahasiswa Papua mulai berkumpul di Monumen Kapal Selam, Surabaya, untuk melakukan persiapan aksi long march menuju ke gedung Grahadi. Dalam aksi tersebut mahasiswa juga menggunakan satu mobil komando yang digunakan untuk mengangkut perangkat aksi.

Pada pukul 07.15 WIB, saat peserta aksi sedang menuju Grahadi, tiba-tiba aparat kepolisian menghadang tepat di depan gedung Bank Mandiri yang terletak di Jl. Pemuda, dengan alasan di Grahadi sedang dilaksanakan acara upacara. Polisi lalu memberhentikan paksa massa aksi, akibatnya, aksi tidak dapat dilanjutkan hingga ke depan gedung Grahadi. Mahasiswa Papua kemudian melaksanakan aksinya di Jl. Pemuda.

Pada pukul 07.45 WIB peserta aksi yang berada di Jl. Pemuda didatangi oleh gabungan ormas yang terdiri dari Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pemuda Pancasila (PP), Persaudaraan Setia Hati Teratai (PSHT) dan SH Winongo. Mereka membuat aksi tandingan dan menuntut kepolisian untuk segera membubarkan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Papua, karena dinilai sebagai tindakan separatis dan berpotensi memecah belah kesatuan NKRI.

Pada pukul 08.00 WIB, kerusuhan mulai terjadi setelah kelompok ormas melakukan penyerangan dengan cara melempar batu ke arah mahasiswa Papua. Tidak cukup dengan hanya melempar batu, mereka juga melempar bambu, hingga melakukan pengeroyokan menggunakan kayu terhadap mahasisawa yang sedang melakukan aksi. Akibatnya, tiga orang mengalami luka bocor di kepala dan enam belas lainnya luka-luka ringan.

Pada pukul 08.30 WIB, setelah mendapatkan tekanan dari aparat kepolisian, peserta aksi dengan terpaksa membubarkan diri. Namun sebelum membubarkan diri, mereka melakukan pembacaan tuntutan kepada pemerintahan yang meliputi:

  1. Memberikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi Rakyat Bangsa Papua Barat;
  2. Mengakui bahwa Bangsa Papua Barat telah merdeka sejak 1 Desember 1961 dan kembalikan hak manifesto politik bangsa Papua Barat;
  3. Tarik militer organik dan non organik dari seluruh tanah Papua Barat;
  4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC dan lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas tanah Papua;
  5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, perluasan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Bangsa Papua Barat;
  6. PBB harus membuat resolusi untuk mengembalikan kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah merdeka, yakni 1 Desember 1961, sesuai dengan Hukum Internasional;
  7. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis nasional dan internasional di Papua Barat;
  8. Cabut Resolusi PBB 2504.

Pada pukul 09.00 WIB setelah selesai membacakan tuntutan, para peserta aksi kemudian membubarkan diri kembali ke asrama mahasiswa Papua yang terletak di Jl. Kalasan, Surabaya, dengan dikawal oleh aparat keamanan. Hingga pukul 11.00 WIB, masih terlihat banyak aparat kepolisian yang berada di sekitar asrama mahasiswa Papua.

Berdsarkan informasi yang kami dapatkan dari pengacara pendamping mahasiswa Papua, yakni Veronika Koman, sekitar pukul 23.00 WIB sebanyak 233 mahasiswa Papua yang tergabung dalam aksi memperingati Hari Kemerdekaan West Papua, diangkut paksa ke Polrestabes Surabaya tanpa alasan yang jelas. Sampai rilis pers ini disampaikan (2/12), mereka masih ditahan di Polrestabes. Selain mahasiswa Papua, satu orang WNA teman dari anggota AMP juga ikut ditangkap oleh pihak imigrasi.

Berdasarkan uraian kronologis tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengecam keras atas terjadinya intimidasi hingga berujung pada penyerangan dan pembubaran paksa terhadap kegiatan aksi peringatan 57 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat dengan tema “Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua sebagai Solusi yang Paling Demokratis”.

Aksi menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang merupakan hak konstitusional setiap warga Negara Republik Indonesia, tanpa terkecuali mahasiswa Papua, yang wajib dilindungi oleh negara khusunya kepolisian sebagai aparat keamanan. Sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam UUD 1945, Pasal 28e ayat 2 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” dan Pasal 28e ayat 3 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Selain itu, telah dijamin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 23 ayat (1)
bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya” dan ayat (2) “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nila-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Pasal 24 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Peristiwa diskriminasi, intimidasi hingga berujung pada penangkapan dan pembubaran paksa aksi mahasiswa Papua di Surabaya tidak hanya terjadi pada hari ini, setidaknya sepanjang tahun 2018 telah terjadi sebanyak empat kali. Berdasarkan situasi tersebut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya medesak agar:

  1. Kepolisian segera membebaskan 233 mahasiswa Papua yang sedang ditahan di Polrestabes Surabaya dari semua tuduhan;
  2. Kepolisian wajib memberikan perlindungan kepada mahasiswa Papua dari segala ancaman kekerasan yang sering mereka alami dan menghentikan segala bentuk tindakan persekusi yang bertentangan dengan hukum dan HAM;
  3. Masyarakat untuk mendukung dan melindungi hak mahasiswa Papua dalam menyuarakan ketidakadilan dan segala bentuk pelanggaran HAM di Papua;
  4. Presiden Jokowi untuk memberikan jaminan ruang dan kebebasan berserikat, berkumpul, serta berekspresi bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali bagi mahasiswa Papua.

Fatkhul Khoir
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya
081230593651

Sebarkan !