Pertemuan dengan Kapolres Blitar; Hentikan Kriminalisasi Terhadap Petani!

Persatuan Pembebasan Tanah Sengon (Peptaseng) bersama Tim Taktis Koalisi Advokasi Petani yang terdiri KontraS Surabaya, LBH Surabaya, MCW, PapanJati, BKBH Universitas Muhammadiyah Malang, Walhi, mengecam tindakan kepolisian yang melakukan penangkapan dan menetapkan 11 orang petani Sengon serta menahan ketua Peptaseng yakni Bapak Slamet Daroini dengan tuduhan menghasut petani untuk menanami lahan Perkebunan PT Dewi Sri.

Peristiwa penangkapan 44 petani Blitar oleh Polres Kabupaten Blitar pada tanggal 15 Oktober 2016 lalu menjadi narasi dan peristiwa panjang, serta rentetan dimana negara melalui alat kekuasaanya selalu menjadi dalang bahkan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi bagi warga setempat.

Bagaimana mungkin 44 warga Sengon, Blitar yang berjuang untuk menuntut hak mereka atas tanah, yang dalam pengakuan warga, tanah mereka telah dirampas dan diduduki oleh perusahaan perkebunan, justru mereka (petani) dituduh, disangka dan dilabeli sebagai kelompok liar yang mencoba memasuki lahan perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat masih terus berlangsung.

Dalam peristiwa tersebut Polres Blitar menetapkan 11 orang petani sebagai tersangka tindak pidana ringan dan menetapkan ketua Peptaseng sebagai tersangka penghasutan.

Selain menetapkan 11 orang petani sebagai tersangka tindakan pidana ringan (tipiring) dan 1 orang tersangka dengan tuduhan melanggar pasal 160 KUHP (penghasutan), perlu diketahui bahwa Peptaseng yang diketuai Slamet Daroini bersama warga tani telah memperjuangkan tanah selama 15 tahun yang dulu adalah tempat tinggal mereka. Mereka melakukan penanaman secara simbolis berdasarkan surat dari Kementerian Sekretarian Negara yang intinya berisi bahwa pemerintah kabupaten Blitar harus segera menyelesaikan kasus sengketa yang telah lama belum usai. Warga, sebelum melakukan penanaman juga telah meminta izin kepada kepolisian dan pemerintah Blitar supaya dilindungi karena warga takut ada preman yang akan menyakiti mereka.

Berdasarkan pengakuan warga sebelum melakukan penanaman, warga telah bersepakat jikalau mereka dilarang untuk menanam, maka mereka akan patuh. Warga justru berharap mereka akan dipertemukan dengan pihak perkebunan supaya mereka bisa berdialog terkait tanah yang menjadi subjek sengketa. Warga akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki long march 3 km ke perkebunan.

Sesampainya di lokasi tanah perkebunan yang akan ditanami, warga menyampaikan sejarah desa mereka dan perjuangan memperoleh hak mereka selama 15 tahun serta menyampaikan bahwa mereka telah mendapatkan surat dari Setneg. Sebelum melakukan penanaman di lahan HGU, warga sebenarnya terlebih dahulu sudah meminta pendapat kepada pihak kepolisian, TNI dan tentu pihak perkebunan apakah boleh ditanam atau tidak, akan tetapi pihak terkait tidak memberikan respon maupun masukan, seakan-akan ada pembiaran.

Padahal dalam salah satu sumber dinyatakan bahwa lahan HGU telah diperpanjang sampai tahun 2036. Seharusnya ada pemberitahuan dari pihak perkebunan bahwa tanah HGU sudah diperpanjang, sehingga penanaman yang dilakukan warga di lahan perkebunan tidak terjadi atau bisa dicegah. Ditambah lagi warga tidak menjadikan penanaman sebagai agenda utama. Artinya jika warga dilarang untuk tidak menanam maka tidak akan dilakukan. Tapi nyatanya setelah menanam, aparat kepolisian melakukan penangkapan,  setelah ada pihak keamanan yang melarang warga menanam di lahan perkebunan. Seakan-akan ada pembiaran dari pihak berwajib. Hal ini tentu menjadi preseden yang tidak baik bagi masyarakat pencari keadilan.

Bahwa sebelum menetapkan Slamet Doroni sebagai tersangka seharusnya pihak kepolisian menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil dan menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum, dalam hal penggunaan pasal 160 KUHP, agar digunakan secara proporsional dan profesional.

Bahwa pasal tersebut menurut MK adalah delik materil dan hal tersebut berubah dari yang awalnya delik formil. Sehingga, Penggunaan pasal 160 KUHP oleh Kepolian Blitar menunjukkan bahwa Kepolisian tidak menaati putusan MK dan hal ini menunjukkan upaya hukum oleh kepolisian tidak profesional dan proporsional.

Maka sangat tepat untuk dikatakan bahwa tindakan kepolisian merupakan bagian dari kriminalisasi dan pembungkaman hak-hak dasar warga negara. Berdasarkan uraian kejadian tersebut, terlihat bahwa adanya upaya sistematis yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan upaya intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Untuk itu kami dari Persatuan Pembebasan Tanah Sengon (Peptaseng) dan tim Taktis Koalisi Advokasi petani yang terdiri dari: KontraS Surabaya, LBH Surabaya, Papanjati,Walhi, Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam mendesak agar:

1. Pihak Kepolisian untuk mencabut penetapan tersangka 11 orang dan membaskan Ketua Peptaseng yakni Saudara Slamet Doroni.
2. Mendesak agar pihak Pemkab Blitar segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan sengkata agraria antara Petani dan PT. Dewi Sri.
3. Kementrian Agraria  segera melakukan evaluasi ulang terkait penerbitan HGU PT. Dewi Sri.

Narahubung:
M. Ali Mahrus: 085791121314 Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Malang
Al-Machi Ahmad: 085606089515 Tim Hukum Warga
Ade:  081332091060 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya
Fatkhul Khoir: 081230593651 KontraS Surabaya

Sebarkan !