Pembubaran dan Penyerangan Aksi Kamisan Malang: Ancaman Serius Bagi Demokrasi

Pada hari Kamis, 11 Oktober 2018, beredar kabar tentang pembatalan seminar bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” yang semula bakal digelar pada 24 Oktober mendatang. Seminar tersebut dibatalkan setelah aparat militer melakukan desakan kepada pihak kampus Universitas Negeri Malang (UM). Berdasarkan surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018, alasan pembatalan terdiri dari lima butir, di antaranya adanya kehawatiran meluasnya pemahaman keliru dari masyarakat setempat yang beredar di media sosial hingga jadi sorotan pihak keamanan Kota Malang. Selanjutnya, penundaan itu merupakan hasil negosiasi panitia (Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah UM) dengan pihak Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Malang.

Sore hari terjadi insiden pembubaran paksa aksi Kamisan Malang, yang rutin dilakukan oleh Komite Aksi Kamisan Malang setiap hari kamis di Depan Balaikota Malang. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan insiden pembubaran aksi ini terjadi sekitar pukul 16.30 WIB. Berikut uraian kronologis:

Sekitar pukul 16.30 WIB massa Aksi Kamisan Malang mulai datang dan berkumpul di depan kantor Balai Kota Malang. Sekitar 20 orang memulai aksi dengan berdiri di depan balai kota dan membagikan selebaran kepada pengguna jalan. Fardan membuka aksi dengan berorasi. Sekitar 5-10 menit orasi berjalan, belasan anggota ormas Pemuda Pancasila dan gerombolan berpakaian putih-putih mulai berdatangan. Mereka kemudian meminta agar massa Aksi Kamisan Malang menghentikan orasi. Beberapa menit kemudian anggota Pemuda Pancasila merebut megaphone yang digunakan Fardan untuk berorasi. Setelah anggota Pemuda Pancasila berhasil merebut megaphone, megaphone kemudian dibanting hingga pecah.

Ormas Pemuda Pancasila tersebut kemudian memaksa massa aksi untuk menghentikan dan membubarkan aksi dengan cara merepresi massa aksi dan sempat terjadi dorong mendorong hingga beberapa masa aksi terpojok ke tembok pagar kantor balai kota. Kemudian Rico ditarik dari kerumunan masa dan dipukuli dengan menggunakan payung milik Komite Aksi Kamisan dan juga dituduh sebagai provokator. Rico berusaha menghindari pukulan dan berlari ke pelataran balai kota. Rico membela diri sehingga memukul balik seorang anggota Pemuda Pancasila hingga terjatuh. Kemudian Rico dikeroyok oleh beberapa anggota Pemuda Pancasila.

Melihat temannya dikeroyok massa, Frans, salah satu massa Aksi Kamisan kemudian berusaha melindungi Rico juga terkena pukulan di wajah hingga mengakibatkan yang bersangkutan terjatuh. Dalam keadaan terjatuh, beberapa anggota Pemuda Pancasila terus berusaha memukuli Frans dengan payung hingga melukai lengan kiri Frans.

Kemudian beberapa massa aksi sempat berlari ke dalam kantor balai kota untuk meminta perlindungan, namun naasnya mereka tidak dapat perlindungan justru malah diusir oleh Satpol PP. Faris, salah seorang masa aksi yang sedang merekam keadaan sempat ditendang dan direbut handphonenya dan dilarang untuk mendokumentasikan kejadian tersebut. Selain kejadian kekerasan yang dialami Fran, Rico dan Faris, Fajar yang coba melerai sempat ditampar oleh anggota Pemuda Pancasila.

Pada saat kejadian terlihat sekitar 10 orang personil polisi di lapangan, tapi tidak melakukan upaya apapun untuk menghentikan massa dari ormas gabungan tersebut yang melakukan tindakan pembubaran aksi dan kekerasan terhadap massa Aksi Kamisan. Pada saat massa aksi membubarkan diri menuju belakang kantor balai kota, terdengar teriakan bernada provokasi “Kalian PKI”.

Pada saat massa sedang berkumpul di belakang Balai Kota Malang, terlihat oknum Polisi melakukan intimidasi secara verbal kepada Rico dengan dengan pernyataan diskriminasi dan intimidasi: “Kamu itu dicari-cari (DPO), untung saja nggak ada Aremania, kalau ada bisa habis kamu,” “Ini bukan wilayah kamu, kamu kan dari Jogja. Malang sudah damai,” serta “Rico aksi kamu itu nggak murni, kita sudah tahu aktivitas kamu.”

Sekitar pukul 16.45 massa aksi membubarkan diri dan mendatkan pengawalan polisi.

Bahwa peristiwa pembubaran aksi kamisan yang terjadi di malang tidak hanya terjadi hari ini, dengan seringnya terjadi peristiwa seperti ini di jawa timur, menunjukkan bahwa personel Kepolisian di bawah Polda Jatim belum mampu menerapkan model polisi profesional yang menghormati prinsip-prinsip HAM.

Berdasarkan hal tersebut:

Pertama, bahwa tindakan pembubaran paksa aksi jelas bertentangan dengan prinsip kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” dan ketentuan Undang-undang No 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Kedua bahwa tindakan aparat kepolisian yang berada di lapangan yang membiarkan adanya tindakan kekerasan jelas melanggar pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Untuk itu kami dari Federasi KontraS dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mendesak agar:

1. Presiden untuk melindungi segenap warga Indonesia dengan tetap memegang teguh prinsip negara hukum, termasuk juga menjamin kebebasan berkumpul dan kebebasan berpendapat di Indonesia;

2. Kapolri segera melakukan tindakan hukum terhadap ormas yang telah melakukan tidakan pembubaran paksa aksi Kamisan, menindak oknum anggota dilapangan yang diduga telah melakukan intimidasi terhadap massa aksi;

3. Kapolri untuk melakukan evaluasi terhadap jajaran kepolisian di daerah.

Andy Irfan, Sekjend Federasi KontraS
Fatkhul Khoir, Koordinator KontraS Surabaya

 

Sebarkan !