Kementerian Hukum dan HAM kini mengkaji kemungkinan pencabutan remisi untuk I Nyoman Susrama. Meski demikian, sorotan terhadap remisi untuk otak pembunuh wartawan Jawa Pos Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa tersebut belum berhenti.
Kemarin beberapa elemen di Surabaya menandatangani surat terbuka yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat terbuka tersebut berisi tiga poin. Pertama, mencabut remisi untuk Susrama. Kedua, menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis. Terakhir, menghentikan praktik politik impunitas.
Kesepakatan tersebut diteken perwakilan dari tujuh lembaga yang hadir dalam konferensi pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya.
Tujuh lembaga itu adalah Kontras Surabaya, LBH Surabaya, Human Rights Law Studies (HRLS) Universitas Airlangga, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Jawa Pos, Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya (Pusad UMS), serta LBH Lentera.
Koordinator Kontras Surabaya Fatkhul Khoir mengatakan, remisi untuk Susrama tidak memperhatikan aspek keadilan masyarakat. Selain itu, Fatkhul menjelaskan bahwa ada yang janggal dalam pemberian ampunan tersebut. “Sampai saat ini Susrama tidak mengakui kesalahannya. Padahal, itu menjadi salah satu syarat mutlak pemberian remisi,” jelasnya.
Ketua AJI Surabaya Miftah Farid menambahkan, jurnalis merupakan bagian dari ruang publik. Masyarakat seharusnya terlibat dalam perlindungan di dalamnya. Namun, saat ini jurnalisme terkesan terpisah dari ruang publik. Dia juga mengatakan bahwa AJI akan tetap mengawal kasus tersebut. Salah satu caranya, membentuk tim investigasi khusus.
Pemimpin Redaksi Jawa Pos Abdul Rokhim menjelaskan perihal pertemuannya dengan Presiden Jokowi Sabtu (2/2). Saat itu Jokowi memang berkunjung ke kantor Jawa Pos di Graha Pena Surabaya. Menurut Rokhim, dalam pertemuan tersebut Jokowi berujar bahwa sangat mungkin remisi untuk Susrama dicabut. Dasarnya adalah rasa keadilan dan aspirasi masyarakat. “Namun, belum dijanjikan kapan akan dicabut,” ujar Rokhim.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Wachid Habibullah mempertanyakan dasar kewenangan presiden dalam pemberian remisi itu. Menurut dia, pemberian remisi khusus harus dengan dasar yang jelas. Misalnya, berkaitan dengan kelakuan baik. “Yang diberikan remisi itu banyak, ya harus ditinjau satu-satu dasarnya apa. Jangan langsung teken,” ungkap Wachid. Wachid juga mendesak agar apa pun kebijakan pemerintah harus transparan dan memenuhi keadilan masyarakat.
Sementara itu, pakar hukum HAM Universitas Airlangga Herlambang Wiratraman menjelaskan bahwa pemberian remisi berkaitan dengan komitmen politik Presiden. Menurut dia, Jokowi secara tidak langsung absen dalam komitmennya untuk menciptakan keadilan masyarakat. Salah satunya tentang kebebasan pers.
Herlambang menekankan bahwa presiden jangan sampai dipengaruhi kepentingan politik menjelang Pemilu 2019. Apalagi, Susrama adalah adik kandung I Nengah Arnawa, mantan bupati Bangli yang diusung PDI Perjuangan.
“Tidak ada pesan politik untuk aspirasi masyarakat di sini. Maka, korbannya bukan hanya jurnalis, melainkan juga pencinta kebebasan berekspresi,” ujarnya. Herlambang juga mengingatkan bahwa sebentar lagi merupakan Hari Pers Nasional (HPN). Dia mengatakan, tidak pantas jika perayaan HPN dibarengi dengan kasus pemberian remisi yang berlarut-larut.
Editor: Ilham Safutra
Reporter: (nas/c10/oni)