Remisi Susrama, Jurnalis dan Aktivis Surabaya Surati Jokowi

Sejumlah elemen masyarakat sipil mengatasanamakan diri ‘Solidaritas Masyarakat Surabaya Menolak Remisi Pembunuh Jurnalis AA Gde Bagus Narendra Prabangsa’ mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Mereka meminta segera mencabut keputusan remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama, otak pembunuhan terhadap jurnalis surat kabar Radar Bali tersebut.

Surat itu ditandatangani oleh perwakilan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Human Right Law Studies (HRLS) Unair Surabaya, PUSAD UMS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Redaksi Jawa Pos, dan sejumlah kelompok sipil lain.

Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl, mengatakan terlibatnya sejumlah elemen masyarakat sipil ini adalah penanda kebijakan pemberisian remisi terhadap Susrama adalah tanda bahaya yang bukan hanya bagi kebebasan pers, tapi juga kepada ruang-ruang publik.

“Surabaya jadi tempat pergerakan bergabungnya civil society, untuk mendesak pencabutan remisi itu,” kata Faridl, saat memberikan siaran pers di Kantor KontraS, Jalan Hamzah Fansyuri, Surabaya, Senin (4/1).

Faridl menyebut, surat kepada Presiden Jokowi ini bertujuan menjadikan jurnalisme sebagai tempat di mana masyarakat bisa memperoleh informasi akurat tanpa ditutupi.

“Karena sebagaimana diketahui Prabangsa dibunuh setelah menulis berita tentang praktik korupsi yang dilakukan Susrama di Proyek Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli,” kata dia.

Miftah menyatakan pemberian remisi terhadap Susrama seolah memperlihatkan praktik impunitas yang dilakukan pemerintah terhadap pembunuh jurnalis. Menurut dua, hal ini sama saja menutupi tindakan korupsi, dari sorotan media dan masyarakat.

Sementara itu Pemimpin Redaksi Jawa Pos, Abdul Rokhim, mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah memberikan remisi kepada Susrama. Bukan hanya karena secara struktural Prabangsa adalah bagian dari Jawa Pos, tetapi juga soal kebebasan pers.

“Ini menunjukan bahwa pemerintah kini permisif dan intimidatif terhadap kerja jurnalistik, dan itu berarti bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga mengancam hak yang paling fundamental dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan fakta,” kata Rokhim.

Rokhim mengatakan, protes terhadap pemberian remisi ini pun telah disampaikan langsung oleh pihaknya, saat Presiden Jokowi berkunjung ke Redaksi Jawa Pos, di Graha Pena, Surabaya, Sabtu (2/2) pekan lalu.

“Kami ketemu dengan Pak Jokowi langsung di Graha Pena, dan kami tanyakan langsung, kami menyebut (remisi) ini tidak tepat dan harus dicabut. Dan respon Pak Jokowi, sangat mungkin bila itu dilakukan, tapi dua poin, yakni butuh rasa keadilan dan aspirasi masyarakat,” kata dia.

Rokhim mengatakan soal penolakan pemberian remisi, Presiden Jokowi tentu bisa melihat langsung dari maraknya gelombang aksi yang dilakukan rekan sesama jurnalis dipelbagai daerah, penandatangan petisi, dan ditambah lagi surat terbuka ini.

“Kalau pak presiden membutuhkan, ini adalah aspirasi, kami kirim, kalau presiden ingin mengetahui aspirasi kami, maka poin-poin itu yang kami inginkan, bahwa rasa keadilan ini terusik dengan pemberian remisi tersebut,” kata Rokhim.

Pada 11 Februari 2009, Prabangsa dibunuh dengan sadis oleh sembilan orang. Dengan tangan terikat, kepala Prabangsa dihajar dengan kayu bertubi-tubu hingga kondisinya remuk.

Tubuh Prabangsa kemudian dibuang ke laut. Jasadnya baru ditemukan enam hari setelahnya, yakni pada 16 Februari 2009 di perairan Padang Bai, Karang Asem, Bali. Kasus pembunuhannya pun baru terungkap berbulan-bulan setelahnya.

Ketua HRLS Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratman, mengatakan proses pengungkapan kasus pembunuhan terhadap mendiang Prabangsa sangat berliku. Kala itu, kata dia, sejumlah kelompok jurnalis bahkan sampai harus membentuk tim pengawas yang bertugas mengawal jalannya persidangan dalam kasus ini. Beberapa mantan hakim dan jaksa juga turut membantu bergabung di dalamnya.

Apalagi, kata Herlambang, Susrama adalah adik kandung dari Bupati Bangli, Bali, I Nengah Arnawa. Dikhawatirkan dia akan menggunakan pengaruh politiknya untuk mengintervensi proses hukum. Ia juga diketahui sebagai calon legislatif dari partai PDIP.

“Sebuah upaya yang tidak mudah, tapi konsolidasi teman-teman jurnalis luar biasa, mereka membentuk tim pengawas jalannya pengadilan, tapi berkat jurnalis kompak dengan elemen masyarakat, sehingga keganjilan itu bisa dihindari,” kata dia. (frd/ayp)

Sebarkan !