Surabaya – Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya minta kepada pemerintah Indonesia untuk mengadili kasus penembakan atas warga Alastlogo ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Sebab penembakan yang mengakibatkan empat orang meninggal dan tujuh luka berat ini masuk kategori pelanggaran HAM berat,” kata I Wayan Titib, anggota Kontras Surabaya saat memantau sidang putusan kasus Alastlogo, di Pengadilan Militer III-12 Surabaya, Kamis (14/8).
Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, yang telah diretifikasi oleh Indonesia, disebutkan dalam situasi perang pun penduduk sipil bukan obyek penembakan.
“Jika dilanggar siapapun akan didakwa dengan kejahatan perang,” tegasnya.
Menurut dia, berdasarkan undang-undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM, penembakan anggota marinir atas warga Alastlogo merupakan pelanggaran HAM berat. Sehingga, kata Wayan Titib, Pengadilan Militer Surabaya III-12 Surabaya tak berwenang mengadili kasus tersebut.
Wayan Titib juga menyayangkan kinerja Komnas HAM yang tampak tidak peduli atas kasus ini dan mereka lebih tertarik pada kasus kekerasan di Universitas Nasional dan Monumen Nasional.
Padahal Kontras bersama Komnas HAM sering datang ke Alastlogo sebelum terjadi peristiwa penembakan. Komnas HAM dan Kontras menemukan sejumlah fakta sebelum terjadi kasus penembakan di Alastlogo telah terjadi pelanggaran HAM yang sistematis, terencana dan meluas.
“Komnas HAM harus berani menyatakan ini pelanggaran HAM berat. Kalau tidak, untuk apa ada Komnas HAM,” ujarnya.
Karena itu, kata Wayan, jika integritas Komnas HAM masih ingin diperhitungkan masyarakat, Komnas HAM harus membentuk komisi gabungan untuk melakukan penelitian ulang.
Perlunya Komnas HAM melakukan penyidikan ini, kata Wayan, agar Komnas HAM bisa memberikan masukan pada pemerintah bahwa kasus Alastlogo adalah pelanggaran HAM berat dan bukan pembunuhan biasa.
Wayang juga mengkritik TNI Angkatan Laut yang berencana akan merelokasi warga Alastlogo. “Seharusnya yang direlokasi itu adalah pusat latihan tempur marinir. Warga berada di sana jauh sebelum marinir datang,” kata Wayan.