Pembatalan Bedah Buku Tan Malaka; Preseden Buruk bagi Demokrasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan aksi pembatalan acara bedah buku Tan Malaka di C20 Library Jalan Dr Cipto, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (7/2), pukul 18.30-22.00 WIB.

Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Dokumentasi KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, praktik pembungkaman daya kritis masih saja terjadi di era keterbukaan. Padahal, buku Tan Malaka mampu membuka kembali lembaran sejarah perjuangan Indonesia di masa pra-kemerdekaan.

Sayang, pihak kepolisian tidak memberi izin acara yang juga menghadirkan si penulis buku Tan Malaka jilid 4 yang berjudul “Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia” yaitu Harry A Poeze.

Tidak diizinkannya acara tersebut, karena pihak kepolisian mencium kerawanan jika acara itu tetap digelar. Terbukti, meski acara urung digelar, puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah elemen yang tergabung Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur, tetap saja memaksa datang di lokasi acara untuk membubarkan paksa bedah buku tokoh revolusioner tersebut.

Bahkan, mereka tak peduli meski pintu gerbang Gedung C20 Library ditempeli tulisan pemberitahuan berbunyi: Mohon Maaf, Diskusi Buku Tan Malaka dengan A Poeze pukul 18.30 WIB dibatalkan. Sekelompok organisasi Islam tersebut tetap memaksa tinggal dan menggelar tikar di depan pintu gerbang gedung, untuk memastikan acara itu batal digelar.

“Seharusnya polisi tidak perlu takut dengan ancaman-ancaman ormas fundamental ini. Tugas mereka (polisi) mengamankan kegiatan. Bukan meminta acara dibatalkan,” ucap Fatkhul Khoir, Jumat (7/2).

Diceritakan, malam kemarin, panitia acara menyampaikan pemberitahuan kegiatan ke pihak Polsek Tegalsari. Keesokan harinya (7/2), panitia kembali mendatangi Polsek Tegalsari dan diminta menyampaikan pemberitahuan ke Polrestabes Surabaya.

Di Polrestabes Surabaya, panitia diminta membatalkan acara karena alasan keamanan. “Ini menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia. Polisi ternyata menyerah pada ormas fundamental. Pembatalan ini bentuk pembungkaman daya kritis masyarakat, kegiatan ini sifatnya akademis,” tandasnya.

Sementara Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur KH Dhofir mengatakan, pihaknya tidak melarang acara itu jika digelar di kampus, bukan di tempat umum. Karena jika digelar di kampus, sifatnya ilmiah, yaitu untuk mencari kebenaran dan menganalisi isi buku yang ditulis peneliti asal Belanda tersebut.

“Kalau di sekolah itu kan sifatnya ilmiah, untuk membedah kebenaran buku itu sendiri. Kalau digelar di tempat umum dan mengundang banyak orang dari kalangan umum, ini sama halnya mengajak untuk tidak benar. Tan Malaka itu kan tokoh komunis, dan itu dilarang di Indonesia, Tap MPR masih berlaku soal pelarangan itu,” kata tokoh asal Madura itu saat mendatangi Gedung C20 Library.

Dan memang, saat acara yang sama di gelar di Fakultas Ilmu Budaya Kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan juga menghadirkan si penulis buku, Jumat pagi pada pukul 09.00 hingga bubar pukul 11.30 WIB, acara bedah buku sang tokoh revolusioner tersebut tak terusik oleh ormas apa-pun.

“Tidak ada FPI kok, sampai acara bubar tidak ada apa-apa,” kata salah satu mahasiswi Unair singkat saat ditanya Jumat siang tadi.

Sebarkan !