Reforma Agraria Gagal, Pemiskinan Sosial Dilanggengkan

Petani merupakan soko guru bangsa sekaligus tulang punggung negara. KH. Hasyim Asyari bahkan menyebut petani sebagai pahlawan dan sendi tempat negara didasarkan.

Hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai produk politik hukum anti-kolonialisme tidak lantas diimplementasikan secara paripurna oleh negara, justru kebijakan negara cenderung mengkhianati Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA itu sendiri. Negara lebih banyak memfasilitasi pemodal besar untuk merebut dan menguasai lahan. Hal ini tentu ironis mengingat kondisi petani yang belum sejahtera karena macetnya agenda reforma agraria.

Konsolidasi Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur (Papanjati) menyoroti bahwa kedaulatan pangan dan keadilan agraria tidak akan terwujud manakala ketidakadilan agraria terus dipelihara, ketimpangan selalu dikompetisikan dan lemahnya political will penguasa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan agraria. Permasalahan yang dimaksud antara lain:

  1. Bahwa konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur terjadi secara sistematik dan meluas serta mengakibatkan penyengsaraan dan pemiskinan sosial. Kekerasan demi kekerasan terus menerus terjadi, sebagaimana yang dialami oleh petani di Wongsorejo, Banyuwangi, dan intimidasi-kriminalisasi yang dialami oleh para petani Sengon, Blitar.
  2. Konflik agraria dan ketidakadilan sosial yang demikian disebabkan oleh perampasan tanah masa lalu yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Negara/PTPN maupun swasta, TNI, dan Perhutani. Jumlah kasus sengketa agraria mencapai 102 kasus dan tersebar di 16 Kabupaten. Ini menempatkan Jawa Timur sebagai provinsi yang paling produktif dalam menyumbang konflik agraria secara nasional. Kasus ketidakadilan agraria ini dibiarkan mangkrak tanpa penyelesaian, tanpa adanya upaya pengungkapan kebenaran, dan pengakuan hak atas tanah rakyat. Bahkan manipulasi administrasi pertanahan kian memperparah situasi sehingga melahirkan ketidakadilan dan pemiskinan sosial.
  3. Di sisi lain, penyusutan lahan produktif untuk alih fungsi proyek-proyek pembangunan, serta peralihan kawasan hutan lindung menjadi area pertambangan, telah melahirkan situasi penghancuran lingkungan yang berdampak tidak hanya pada keseimbangan ekologi tetapi juga pada kehidupan sosial budaya dan ekonomi rakyat. Bahkan, desentralisasi melahirkan arogansi elit daerah dengan didukung oleh aparat keamanan, hal ini memicu terjadinya kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat, sebagaimana yang  terjadi dalam kasus industri tambang emas PT BSI di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, dan tambang pasir besi di Lumajang.
  4. Ketimpangan penguasaan lahan perkebunan dan hutan, memperlihatkan bisnis menguntungkan tidak hanya bagi segelintir pemilik modal, tetapi juga bisnis militer. Ini jelas berpotensi melanggengkan praktek koruptif yang dapat melemahkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Kasus Sumberanyar dan petani Alas Tlogo di Pasuruan yang berhadapan dengan TNI AL merupakan bukti, begitu pula dengan kasus tanah di Malang Selatan, kasus penguasaan perkebunan Gunung Nyamil oleh Puskopad dan kasus penguasaan perkebunan Ponggok oleh AURI di Blitar.
  5. Konsentrasi penguasaan lahan berskala besar untuk industri perkebunan nyatanya tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Alih-alih sejahtera, justru masyarakat sekitar hanya menjadi buruh. Pada kenyataannya, kebijakan tersebut tetap melanggengkan ketimpangan agraria. Ini dapat dilihat dari 126 perusahaan perkebunan (swasta dan PTPN) yang menguasai lahan skala besar di Jawa Timur dan diduga tidak melakukan kewajiban sebagaimana perintah UU.
  6. Banyaknya kriminalisasi terhadap petani dan pejuang keadilan agraria di Indonesia dalam satu dasawarsa ini, memperlihatkan pula karakter pemerintahan yang tidak mengubah paradigma lama, yaitu mengandalkan otoritas hukum untuk melakukan penindasan. Hal ini juga yang menunjukkan bahwa aparat penegak hukum sejatinya tidak memahami esensi dari konflik agraria. kasus petani Tulang Bawang di Sumatera, petani Surokonto di Jawa Tengah, dan kasus tanah Sengon yang memenjarakan Pak Daroini hari ini di Blitar adalah realitas penindasan tersebut.
  7. Kami semua merasa ketidakadilan agraria mengancam kehidupan masyarakat, kedaulatan pangan, krisis ekologi, dan penghancuran sosial budaya, yang situasinya terjadi terus menerus tidak hanya di Jawa Timur, melainkan pula di daerah lainnya seperti kasus petani Rembang dan Pati yang menolak keberadaan industri semen di Pegunungan Kendeng, serta banyak kasus lainnya. Realitas inilah yang menegaskan apa yang dicitakan Jokowi dalam agenda nawacita sangat jauh bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Kami menuntut Jokowi untuk mempertanggungjawabkan situasi ketidakadilan agraria: keterpurukan ekologi dan sosial yang mengancam kedaulatan rakyat atas hak-hak sumberdaya alam yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan menyegerakan penuntasan konflik agraria sebagai mandat konstitusi Indonesia.

Ds. Dukuh Dempok, Kec. Wuluhan, Jember, 25 Maret 2017

Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur (Papanjati), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Malang Corruption Watch (MCW), YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Koalisi Masyarakat Pegiat Antikorupsi dan Peradilan Bersih (Kompak Bersih), CHRM2 ( Centre for Human Rights Multiculturalism and Migration) Universitas Negeri Jember dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Narahubung: Lasminto

Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur (Papanjati) dan Ketua Forum Komunikasi Tani Sumberanyar Pasuruan
085234100087

Sebarkan !