Gugurnya Affan Kurniawan: Kejahatan Negara yang Mengancam Demokrasi dan HAM

Press Release
Untuk segera disiarkan

Gugurnya Affan Kurniawan:
Kejahatan Negara yang Mengancam Demokrasi dan HAM

Federasi KontraS menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus mengutuk sekeras-kerasnya tindakan represif dan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan aksi massa penolakan kenaikan tunjangan anggota DPR pada 25 dan 28 Agustus 2025 di kawasan Gedung DPR, Jakarta Pusat. Represifitas aparat kepolisian ini berujung pada tragedi: seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob; puluhan orang mengalami luka-luka; dan lebih dari 500 demonstran ditangkap secara sewenang-wenang.

Kami menegaskan, kekerasan aparat keamanan hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan Prabowo–Gibran yang sejak awal nirakuntabilitas dan penuh cacat. Kebebasan menyatakan pendapat di muka umum melalui demonstrasi, unjuk rasa, atau mimbar bebas merupakan hak asasi manusia yang paling esensial, dijamin oleh konstitusi. Tindakan brutal dan eksesif Polri tidak hanya mengancam HAM, tetapi juga mengingkari prinsip-prinsip demokrasi. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan ancaman serius bagi masa depan HAM dan demokrasi di Indonesia.

Permintaan maaf, pernyataan belasungkawa, atau bantuan finansial dari Presiden dan pejabat negara tidaklah cukup! Yang dibutuhkan adalah pertanggungjawaban hukum dan politik, bukan basa-basi dan retorika politik.

Polisi jelas telah melanggar prinsip legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas sebagaimana diatur dalam Perkap No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, serta Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Padahal, pedoman PBB menegaskan bahwa penggunaan gas air mata harus dilakukan terbatas, dari jarak jauh, dan diarahkan ke udara—bukan ditembakkan lurus ke arah massa secara membabi buta.

Brutalitas aparat ini bukanlah kasus tunggal. Dalam satu tahun terakhir (Juli 2024–Agustus 2025), sedikitnya 56 warga tewas akibat kekerasan negara Alih-alih bertransformasi menjadi institusi sipil yang humanis, Polri justru mempertahankan wajah lama yang represif, biadab, dan anti-demokrasi. Kritik publik atas kinerja kepolisian tidak pernah dijawab dengan pembenahan, melainkan dengan semakin menutup ruang akuntabilitas.

Federasi KontraS menilai tindakan aparat keamanan dalam membubarkan aksi massa merupakan praktik pembungkaman yang bertentangan dengan hak konstitusional. Pasal 28E ayat (2) dan (3) serta Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945, Pasal 19 ICCPR, Pasal 23 UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Pasal 19 DUHAM secara tegas menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Penangkapan sewenang-wenang juga bertentangan dengan Pasal 18 UU 39/1999, Pasal 9 ICCPR, serta KUHAP.

Atas dasar itu, Federasi KontraS mendesak:

  1. Presiden Republik Indonesia berhenti beretorika soal HAM dan demokrasi, serta menunjukkan komitmen nyata untuk menegakkan dan menghormati HAM.
  2. Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kepolisian RI menghentikan segala bentuk pengerahan kekuatan berlebihan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap warga negara yang menggunakan hak kebebasan berpendapat dan berkumpul.
  3. Presiden Republik Indonesia segera memecat Kapolri yang terbukti tidak memiliki komitmen menjalankan agenda reformasi kepolisian menuju institusi yang profesional dan demokratis.
  4. Kepolisian RI segera membebaskan seluruh massa aksi yang ditangkap tanpa syarat, menghentikan pendekatan represif, menindak tegas anggota yang terlibat dalam kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang, serta memastikan proses hukum berjalan transparan.
  5. Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, dan KPAI secara aktif menjalankan mandat perlindungan HAM dan mengawasi akuntabilitas atas peristiwa ini.

Reformasi Polri pasca-Orde Baru terbukti mandek dan bahkan berjalan mundur. Harapan akan hadirnya institusi kepolisian yang demokratis, profesional, dan akuntabel hingga kini tidak terwujud. Tewasnya warga di tangan aparat bukanlah insiden semata, melainkan kejahatan negara yang harus dipertanggungjawabkan melalui audit menyeluruh atas kewenangan dan persenjataan aparat keamanan.

Indonesia Gelap, 29 Agustus 2025

Andy Irfan,
Sekjen Federasi KontraS

Sebarkan !