Puluhan warga yang tergabung dalam Perkumpulan Penghuni Rumah-Rumah Peninggalan Belanda (PPRRPB) RW 008, Kelurahan Perak Barat, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, yang sebelumnya akan melangsungkan aksi demontrasi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Pertanahan (Kantah) II batal. Alasan pembatalan aksi, karena pihak BPN Kantah II menyatakan kesediaan audiensi menemui warga beserta pendampingan hukum pada Rabu, 26 Februari 2025, pukul 10.00 WIB.

Sebanyak 10 perwakilan warga didampingi KontraS Surabaya, menggelar audiensi tertutup dengan BPN Kantah II. Pertemuan tersebut turut dikawal oleh pihak Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya untuk memastikan kelancaran proses audiensi. Warga memaparkan kronologi singkat sejarah penempatan rumah-rumah peninggalan Belanda di wilayah tersebut. Mereka juga mempertanyakan secara langsung alasan terhentinya proses pengajuan pendaftaran hak atas tanah yang diajukan warga sebelumnya.
Setelah audiensi tertutup bersama BPN Kantah II Surabaya selesai digelar, warga mengadakan pertemuan lanjutan di balai pertemuan warga. Koordinator KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir menjelaskan bahwa pengajuan pendaftaran hak atas tanah oleh warga ditolak oleh BPN. Penolakan ini didasarkan pada hasil pengecekan BPN yang menyatakan bahwa wilayah RW 008 sudah ada Hak Pengelolaan Lahan (HPL), namun pada saat itu petugas BPN menunjukkan melalui peta satelit adanya plang bertuliskan kepemilikan Pelindo PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang terpasang di pintu gapura wilayah tersebut.
“Saya bantah dengan menunjukkan beberapa dokumen bukti yang kita punya. Akhirnya, pihak BPN sempat mengatakan bahwa kita diminta berkirim surat resmi ke BPN Provinsi menyangkut informasi soal HPL,” kata Fatkhul,Rabu, 26 Februari 2025.
Surat permohonan informasi yang dikirimkan oleh KontraS Surabaya ke BPN Provinsi terkait dengan permintaan dokumen HPL dan surat Nomor: 55/HPL/BPN/97 tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II tidak dijawab oleh BPN Provinsi. Dokumen tersebut menyatakan bahwa penerbitan HPL bukan untuk publik.
Dalam proses pendaftaran tanah, BPN meminta waktu sekitar 1–2 minggu untuk berkoordinasi dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) guna memastikan bahwa HPL tersebut benar-benar milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Setelah BPKAD memverifikasi kepemilikan HPL, warga dapat melanjutkan pendaftaran tanah, yang kemudian akan diikuti dengan tahap koordinasi untuk pengukuran tanah.
Selanjutnya, menurut Fatkhul, Pemkot Surabaya telah mengeluarkan dua dokumen. Dokumen pertama adalah verifikasi dari BPKAD yang menyatakan bahwa tanah tersebut bukan aset Pemkot Surabaya. Dokumen kedua berasal dari pihak kelurahan, yang menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki buku pencatatan tanah. Jika tanah itu milik PT Pelindo, seharusnya kelurahan memiliki dokumen pajak dari PT Pelindo, namun hingga kini dokumen tersebut tidak ada.

Pengurus PPRRPB, Suyitno, mengungkapkan bahwa ia memiliki bukti berupa surat dari Pemkot Surabaya untuk setiap rumah, yang menyatakan bahwa wilayah tempat mereka tinggal tidak lagi menjadi aset Pemkot. Selain itu, pihak kelurahan menyebutkan bahwa RW 008 tidak tercantum dalam buku kretek, yaitu buku yang mencatat aset pemerintah daerah.
“Secara dokumen kita sudah kuat, dihimbau karena di gapura ada plang PT Pelindo Corporate Social Responsibility (CSR) mohon kalau ada bantuan dari PT Pelindo sepakat kita tolak,” kata Suyitno.
Selain itu, pengurus PPRRPB mengajak warga mencopot plang PT Pelindo yang terpasang di gapura wilayah tersebut. Tindakan ini sebagai bentuk penolakan terhadap klaim sepihak PT Pelindo atas HPL di kawasan itu. (*)
Surabaya, 26 Februari 2025
Kontributor: Octaviana Salma
Editor: Rangga Prasetya Aji W.
CP : 081230593651 (Fatkhul Khoir – KontraS Surabaya)