17 Tahun Tragedi 1998, Keadilan Masih Jauh dari Harapan

“Kemanusiaan yang adil dan beradap,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Mei 1998 merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kerusuhan yang terjadi di Indonesia, Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Esoknya terjadi kerusuhan massal yang meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta.

Melalui proses perjuangan panjang keluarga korban dalam menuntut keadilan akhirnya pada tahun 2000 DPR membentuk pasnsus peneyelesaian tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang bertugas melakukan pemantauan proses penyelesaian kasus tersebut, pada tahun 2001 Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, fakta diatas teleh menimbulkan kekecewaan dari pihak korban dan keluarga korban.

Kondisi tersebut diatas tidak lantas menyurutkan perjuangan bagi korban dan keluarga korban untuk terus berjuang mencari keadilan, dengan alasan bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM yang sistematis dan meluas, mereka terus melakukan desakan ke Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini, pada tahun 2001 KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II di bentuk

Dalam laporan awal, KPP HAM menyimpulkan bahwa dari bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran berat HAM dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang yang diduga tersangka. Hasil penyelidikan Komnas HAM diberikan kepada Kejaksaan Agung untuk segera dilakukan penyidikan sesuai UU No. 26 tahun 2000.

Sementara itu berkas penyelidikan terus bolaki-balik antara kejaksaan Agung dan Komnas HAM sampai 3 kali, pada 30 Oktober 2002 berkas KPP dikembalikan ke Komnas HAM. Surat bernomor R751/F/Fe.2/10/2002, 30 Oktober 2002 itu ditanda-tangani Haryadi Widyasa, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus). Isinya pemberitahuan penolakan menindaklanjuti hasil penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Namun Sampai dengan saat ini tidak ada itikad baik dan langkah hukum yang kongkrit dari Jaksa Agung untuk melakukan penyelidikan atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Sementara DPR RI dengan berbagai alasan politisnya tidak juga menggunakan kewewenanganya untuk merekomendasikan Presiden mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa TSS.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan janji Presiden Jokowi, yang dalam janji kampanye yang dituangkan dalan Nawa Cita akan melakukan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, namun sampai saat ini janji hanya sekedar janji, karna sampai saat ini presiden belum juga mengluarkan keppres pembentukan pengadilan Ad Hoc, meskipun pada tanggal 22 april 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo telah berinisiatif membentuk tim gabungan untuk membahas tujuh kasus pelanggaran berat HAM.

Untuk itu kami komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Surabaya mendesak :

• Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan Keppres Pembentukan Penggadilan HAM Ad Hoc
• Jaksa Agung segera melakukan fungsi dan kewajibannya untuk melakukan penyidikan atas peristiwa Trisakti 1998,    sebagaiman mandat dalam pasal 21 UU No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
• DPR RI segera menggunakan kewenangannya mengusulkan kepada Presiden untuk segera mengeluarkan Keppres   Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden, sebagaimana dimandatkan dalam pasal 43 ayat [2] UU 26   Tahun 2000.

Surabaya, 12 Mei 2015

Badan Pekerja
KontraS Surabaya

 

Fatkhul Khoir
koordintor

Sebarkan !