Upaya penyelesaian kasus 1965 sampai saat ini masih belum terealisasi seperti yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo selama masa kampanye.
Aktivis hak asasi manusia di Jawa Timur berencana membawa hasil sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa 1965 ke sidang tahun Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia di Jenewa pada 2017.
Anggota tim riset IPT di Belanda, Ratna Saptari mengatakan, upaya mengangkat hasil putusan sidang IPT di Belanda atas kasus genosida yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966, merupakan langkah lanjutan untuk menekan pemerintah Indonesia agar mau menyikapi secara serius hasil putusan sidang Pengadilan Rakyat Internasional.
“Jadi memang sudah ada rencana kita ke UN, ke Jenewa, untuk bisa mengangkat persoalan ini di tingkat internasional dan kemudian diharapkan bisa memberi tekanan kepada pemerintah Indonesia. Dan untuk sementara IPT ini bukan suatu upaya untuk menuduh satu orang atau individu dari pemerintah atau apa, tapi juga semacam pernyataan politik,” ujarnya pada sebuah diskusi, Selasa (16/8).
Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag pada November 2015 menyatakan pemerintah Indonesia bersalah atas tindakan pembunuhan massal dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya.
Menurut Ratna, yang juga pengajar di Universitas Leiden, Belanda, upaya penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia oleh pemerintah termasuk kasus 1965, sampai saat ini masih belum terealisasi seperti yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo selama masa kampanye pemilihan Presiden yang lalu.
“Sampai saat ini kan belum ada sama sekali upaya untuk mengangkat kembali masalah-masalah hak asasi manusia yang sebetulnya sudah dijanjikan Presiden waktu dia kampanye untuk menjadi Presiden,” ujarnya.
“Jadi sementara itu juga reaksi-reaksi yang ada adalah bahwa ini adalah intervensi asing, ini adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan sebagainya, dan atau untuk komunis supaya bisa kembali dan sebagainya, itu sama sekali tidak ada urusan dengan komunisme, tidak ada urusan dengan pengkhianat bangsa, karena ini adalah masalah kemanusiaan.”
Pengajar hukum dan ham di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan, seharusnya negara dan pemerintah mampu melindungi seluruh warga negaranya, dan bersikap adil terhadap orang-orang yang terlanjur mendapat stigma terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Negara Indonesia didirikan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, siapa pun dia. Makanya seperti tadi, apakah PKI itu salah atau tidak, bukan pertanyaan itu yang penting, salah pun apalagi tidak salah, negara tidak boleh kemudian, anda diculik, dibunuh, dirampas haknya, tiba-tiba dicabut kepegawaiannya tanpa proses peradilan,” ujarnya.
Fatkhul Khoir, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, mendesak negara dan pemerintah segera merehabilitasi korban peristiwa 1965, agar kembali mendapatkan haknya sebagai warga negara.
“Ini tergantung dari kemauan negara ya dalam konteks untuk merehabilitasi korban 1965. Jadi segala sesuatu memang saat ini tergantung Presiden, mau atau tidak dia merehabilitasi korban 1965 itu,” jelasnya.