Marsinah 22 Tahun Tanpa Keadilan

Pada tanggal 8 mei 1993, di sebuah gubuk dipinggiran hutan Wilangan dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, menjadi saksi sejarah kematian bagi aktivis buruh perempuan bernama Marsinah 22 tahun yang lalu, Marsinah adalah buruh perempuan yang bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Ia dilahirkan pada 10 April 1969 di Nganjuk. Ia seorang aktivis dalam pemogokan massal selama tanggal 3-4 Mei 1993 di pabriknya, untuk menuntut kenaikan upah 20% dari gaji pokok sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur., No. 50/Th. 1992.

Pasca ditemukannya jenazah Marsina sekitar bulan September 1993 dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah, dan langsung melakukan penangkapan delapan petinggi PT CPS secara diam-diam tanpa prosedur resmi, dinatara yang ditangkap termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Pada 1994, 10 LSM membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM), untuk melakukan proses advokasi dan investigasi kasus pembunuhan buruh Marsinah oleh Aparat Militer.

Setelah terjadinya kasus pembunuhan terhadap marsinah, tercatat pada tahun 1994, Ketua Komnas HAM Bapak Ali Said, telah mengeluarkan Surat Perintah Nomor 10/TUA/III/94. Pembentukan tim Pencari fakta Surat Perintah itu diberikan kepada Ali Said, SH, Marzuki Darusman,SH, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Drs. Bambang W. Soeharto, Prof. Dr. Muladi, SH, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Prof. Dr. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA, Clementino Dos Reis Amaral, H.R. Djoko Soegianto, SH dan Soegiri, SH.

Kasus Marsinah kembali mencuat ke permukaan menyusul perintah Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) untuk menuntaskan kasus pembunuhan aktivis buruh, semnetara itu komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus pemubunuhan Marsinah.

Pada tahun 2000, kasus Marsinah dibuka lagi. DNA Marsinah yang diperiksa di Australia sudah diserahkan ke Puslabfor dan hasilnya DNA tersebut sama dengan bercak darah Marsinah yang ditemukan di rumah Direktur PT. CPS Yudi Susanto. Akan tetepi hasilnya berbeda dengan hasil test DNA yang dilakukan oleh mabes POLRI.

Tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui rencana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengusut kasus Marsinah. awal bulan Mei 2002, sidang pleno Komnas HAM telah memutuskan akan membuka kembali kasus Marsinah, seorang buruh PT.Catur Putra Surya di Surabaya yang dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Alasan Komnas HAM membuka kembali kasus ini adalah telah ditemukannya bukti-bukti baru yang sebelumnya tidak muncul.

Namun sampai saat ini peristiwa pembunuhan terhadap marsinah menguap begitu saja, fakta diatas menujukkan Negara begitu lemah dalam penegakkan HAM di Indonesia, kondisi tersebut sangat memprihatinkan ketika kita melihat janji kampanye presiden Jokowi-JK yang tertuang dalam nawa cita 9 agenda prioritas diantaranya menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem hukum dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, menjamin kepastian hukum serta penghormatan HAM dan peneyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Untuk itu kami atas nama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Surabaya, menuntut agar Presiden Republik Indonesia :

1. Segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu
2. Mendesak Komnas HAM untuk membuka kembali kasus pembunuhan Marsinah.

Badan Pekerja
KontraS Surabaya

Fatkhul Khoir
koordinator

Sebarkan !