Tak mudah bagi Silvia meredakan amarah, setelah pada Minggu 13 Mei 2018 itu, bom meledak di halaman Gereja Santa Maria Tak Bercela. Dia yang sedang bertugas pada misa sesi berikutnya, melihat dan mencoba menolong para korban yang tumbang, sebisanya.
Dentuman membuat pendengarannya bermasalah, sementara anak keduanya selamat dengan luka pada paha dan leher akibat kena serpihan. “Bagaimana ada orang berlaku sebagai Tuhan dengan mengambil kehidupan,” katanya sore itu dengan suara bergetar dan matanya terlihat menghangat.
Baginya, misa pada hari Minggu sepekan setelah peristiwa ledakan adalah saat yang muram ketika dia, mau tak mau, memutar kembali rekaman saat bau amis darah, raung kesakitan dan serpihan tubuh, memenuhi benaknya. “Saya tidak takut, sama sekali tidak takut, tapi saya marah,” katanya saat wawancara pada Kamis, 17 Mei 2018 di rumahnya di kawasan Gubeng Surabaya. Silvia adalah ketua lingkungan dalam organisasi gereja yang juga ketua RT setempat adalah seorang ibu yang mesti membesarkan kedua putrinya sendirian setelah belahan jiwanya dipanggil Tuhan lantaran gagal ginjal. 7 tahun lamanya dia berusaha agar suaminya bertahan hidup. Namun, pada Minggu pagi itu betapa marahnya dia melihat ada orang berlaku sebagai Tuhan, yang tak mencipta kehidupan, namun justru merenggut.
Kemarahan yang sangat, bahkan mungkin kebencian, sekarang dia coba redakan, dengan mendaraskan sejumlah doa, yang kita semua tahu, akan bermuara pada : pengampunan. “Karena mereka tak tahu dengan apa yang mereka perbuat,” tulisnya dalam sebuah puisi yang dibagikannya kepada saya via WA, saat usai misa. (Prasasto Wardoyo)