Konsistensi Aksi Kamisan Akhirnya Sampai di Pengujung Tahun, Sampai Jumpa Tahun Depan!

Aksi Kamisan Surabaya akhirnya memungkasi aksinya tahun 2018 ini. Masih mengambil tempat di depan Gedung Grahadi, Kamis (27/12) puluhan muda-mudi serempak menggelar aksi diam—tapi aspirasi mereka tetap keluar lewat kertas art-paper dan payung-payung hitam simpatisan.

Mengambil tema ‘Natal Damai Untuk Papua’, aksi diam mereka dimulai pukul 16.00.
Hampir semua yang hadir adalah anak muda, yang dengan sukarela berkumpul, bersimpati, kritis akan permasalahan Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

Aksi Kamisan masih diinisiasi oleh Kontras Surabaya, yang kali ini hendak merespon permasalahan yang ada di Papua. Mereka ingin menyampaikan, bahwa sebenarnya pemerintah melihat kasus di Nduga, Papua dengan sebelah mata.

Pendekatan militirestik di Papua yang belum berhenti sampai saat ini, harus segera dihentikan.

Rakhmat Faisal selaku perwakilan Kontras Surabaya menjelaskan, meninggalnya 7 orang sipil di Nduga adalah kesalahan pemerintah yang melakukan operasi militer di sana.

“Pemeritah seharusnya lebih melakukan pendekatan dialog daripada militeristik. Karena dirasakan atau tidak, bahwa semakin banyak kekerasan, semakin banyak pula korban yang berjatuhan,” ujarnya.

Dalam acara tersebut, turuthadir dua perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jefri Bless dan Yoab Orlando. Mereka berdua bercerita bahwa kondisi AMP pasca kejadian 1 Desember lalu, sudah relatif baik.

Tapi mereka tidak memungkiri bahwa sampai saat ini Asrama Papua sering diintai oleh orang-orang tidak dikenal. Begitu ngerinya.

“Mungkin saat ini belum ada tingkah diskriminatif dari para ormas yang sempat membuat masalah itu, tapi jika kita akan mengadakan diskusi lagi, mungkin mereka dipastikan akan membuat ulah,” ujar Jefri dan Yoab.

Foto oleh dnk.id

Aksi Kamisan Suroboyo Wani masih punya spirit yang sama dengan Aksi Kamisan di belahan Indonesia lainnya. Mereka menyuarakan isu HAM yang sampai saat ini, belum tampak juntrungannya.

Aksi Kamisan yang diinisiasi oleh Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Surabaya ini, setiap minggunya ini selalu diisi dengan tema-tema HAM yang menyangkut wilayah Jawa Timur dan sekitarnya.

Seperti bulan lalu di mana mereka menyuarakan kriminalisasi yang dialami aktivis peduli alam Waduk Sepat, Budi Pego, dan juga Lakardowo di Mojokerto.

Acara tersebut biasanya diikuti oleh beberapa elemen mahasiswa dan Masyarakat Kota Surabaya. Mereka berpakaian serba hitam dan menggunakan payung hitam. Ini sebagai simbol perlawan terhadap tirani yang membelenggu rakyat.

Meski aksi tersebut adalah aksi damai, tim DNK.id sempat mencatat beberapa kali ada pembubaran. Seperti 27 September lalu, dimana aksi Kamisan dibubarkan paksa aparat dan sejumlah elemen ormas.

Aksi yang telah rutin diselenggarakan sejak 2017 lalu itu diusik karena menyuarakan pelanggaran HAM tahun 65. Pada aksi menjelang 30 September itu,massa aksi diteriaki antek PKI sehingga aksi damai yang berlangsung itu menjadi terhenti.

Alasan lain dibubarkannya aksi tersebut: adanya beberapa rekan aksi yang berasal dari AMP. Ini sungguh menyinggung beberapa rekan lain saat itu. Padahal saat itu, mereka hendak menyuarakan kasus pelanggaran HAM di Wamena, yang sampai saat ini belum terselesaikan.

KontraS Surabaya saat itu mengecam keras tingkah aparat dan para ormas yang hendak menghentikan Aksi Kamisan. Mereka mendesak pemerintah segera menyelesaikan berbagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, yang saat ini masih menemui jalan buntu.

Seringnya pembubaran Aksi Kamisan—termasuk yang terakhir di Malang beberapa waktu lalu—menunjukkan bahwa personel Kepolisian di bawah Polda Jatim, belum menghormati prinsip-prinsip HAM.

Kepolisian semestinya bisa menjaga berjalannya aksi ini, sebagai cara masyarakat menyampaikan aspirasinya di tempat umum.

Bukan lantas menghentikan aksi yang sempat dianugerahi rekor MURI sebagai aksi tergigih dalam memperjuangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia ini.

***

Sebelum pulang ke tempatnya masing-masing, simpatisan aksi Kamisan Surabaya berkumpul terlebih dahulu di Taman Apsari. Di samping Patung Gubernur Suryo itu, mereka mendiskusikan latar belakang apa yang mendasari aksi mereka sore itu.

Satu persatu dari mereka menjelaskan gagasan apa yang ada di dalam otaknya. Mereka menyampaikan idealismenya, yang menurut Soe Hok Gie: kemewahan terakhir yang dimiliki anak muda.

Mendung hitam pun datang. Hujan tidak bisa lagi ditolak. Air mengguyur deras pada senja itu, memaksa mereka untuk bubar, pulang ke tempat masing-masing.

Tapi diyakini atau tidak, dalam benak simpatisan aksi, pesan Wiji Thukul dalam puisi “Peringatan” yang legendaris itu terus terngiang di telinga. Membuat Kamisan akan terus digelar, sampai masalah HAM terselesaikan.

Tahun depan sepertinya akan panjang. Panjang umur perlawanan!

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

***

Reporter: Ismail Surendra

Sebarkan !