Tragedi Mei 1998: Agenda Yang Belum Selesai

Pada selasa 28 Mei 2024, KontraS Surabaya bersama dengan Savy Amira Women Crisis Center menyelenggarakan diskusi publik berjudul Tragedi Mei 1998: Agenda Yang Belum Selesai bertempat di KontraS Surabaya.

Kegiatan ini bagian dari rangkaian kegiatan Peringatan Mei 98, sebuah inisiatif yang setiap tahun diselenggarakan KontraS Surabaya bersama komunitas, organisasi dan gerakan masyarakat sipil dalam rangka mengajak publik untuk terus mengingat bahwa Negara Indonesia belum menyelesaikan tanggungjawabnya dalam menyelesaikan Kejahatan HAM (Pelanggaran HAM yang Berat) yang terjadi pada Mei 98.

Selain itu inisiatif ini juga dilakukan untuk mendorong gerakan masyarakat sipil secara luas untuk terus mengawal agenda-agenda Reformasi 98 yang saat ini terancam ditinggalkan.

Mei 98 adalah bulan kejatuhan rezim Orde Baru. Di bulan ini, terjadi kerusuhan di sejumlah tempat secara serempak, seolah kerusuhan-kerusuhan ini adalah jurus terakhir Rezim Orde Baru dalam mempertahankan kuasanya. Tercatat kerusuhan terjadi susul menyusul dari Medan (6 Mei 98), Depok (7 Mei 98), Solo dan Surabaya (14 Mei 98), Palembang (14 Mei 98) dan puncaknya di Jakarta (12 – 21 Mei 98). Beragam bentuk kekerasan terjadi di persitiwa ini yaitu serangan rasialis kepada etnis tionghoa, penjarahan dan pengrusakan barang milik pribadi, penganiayaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, hingga pembunuhan.

Diskusi ini menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Veryanto Sitohang dari Komisioner Komnas Perempuan, Poedjiati Tan seorang psikolog sekaligus aktivis perempuan di Surabay, dan Andy Irfan dari Federasi KontraS.

Pada intinya dalam diskusi ini semua pembicara prihatin dengan arah kebijakan Pemerintahan Jokowi dalam menuntaskan perkara-perkara Kejahatan HAM (Pelanggaran HAM yang Berat) yang cenderung bertentangan dengan prinsip HAM universal, yaitu melalui Kebijakan Presiden tentang Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).

Seperti diketahui Jokowi telah mengeluarkan aturan penyelesaian non yudisial diantaranya adalah Keppres Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat yang ditandantangani pada tanggal 26 Agustus 2022, Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat yang ditandantangani pada tanggal 15 Maret 2023, Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat yang ditandantangani pada tanggal 15 Maret 2023. Dan tampaknya sampai dengan berakhirnya Pemerintahannya, Presiden Jokowi tidak akan berkomitmen untuk menjalankan Pengadilan HAM dan mengesahkan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai instrumen kunci dalam penuntasan kasus-kasus Kejahatan HAM (Pelanggaran HAM yang Berat).

“Beberapa tahun lalu, Mahfud MD menyebut bahwa Tragedi Mei 98 bukan Pelanggaran Berat HAM, dan Jaksa agung juga menyatakan kasus Semanggi 1 dan 2 bukanlah peristiwa pelanggaran berat HAM. Pemerintah memang terus menerus membuat narasi dan argumentasi yang menjauhkan diri dari tanggungjawabnya soal pelanggaran berat HAM ” Tutur Andy Irfan.

Selain itu ancaman kepada para penyintas yang bersuara tentang peristiwa ini juga terjadi, bahkan hingga berakhir dengan pembunuhan. “Kematian Ita Martadinata berhasil mengancam korban Tragedi Mei untuk menjadi lebih banyak diam dan tidak bersuara, karena takut mengalami nasib yang sama dengannya.” kenang Poedjiati.

Ita Martadinata, adalah , gadis 18 tahun yang aktif di Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP) yang sedianya akan memberikan kesaksian dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Ita Martadinata ditemukan tewas karena dibunuh dengan sangat keji di rumahnya pada 9 Oktober 1998. Sejumlah relawan TRKP memberikan kesaksian bahwa Ita Martadinata adalah salah satu korban pemerkosaan pada mei 1998.

“Di Surabaya, peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di beberapa tempat di kawasan Surabaya Utara, yaitu sekitar Semampir dan Pegirian, terjadi pada tanggal 14 Mei.” Kenang Poedjiati.

“Ada beberapa perbedaan jumlah data korban, dari Lembaga-lembaga yang melakukan investigasi. Korban pemerkosaan sekitar antara 10 – 19 orang, 2-6 orang korban penyiksaan seksual, dan puluhan orang korban pelecehan seksual. Sayangnya salah satu saksi informan kunci dari peristiwa ini yaitu Pak Bingki Irawan telah meninggal dunia pada 2021 yang lalu”, demikian Poedjiati menjelaskan.

Veriyanto dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa selama ini negara belum hadir dalam penyelesaian Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan juga menilai bahwa Pemerintah Kota Surabaya belum memiliki concern terhadap Tragedi Mei 1998. Hal ini terbukti dengan tiadanya monumen yang dibangun pemerintah untuk mengenang peristiwa tersebut di Surabaya. Menurutnya, lewat pembangunan monumen, memperbanyak literatur dan kegiatan bertemakan Tragedi Mei 1998 merupakan upaya untuk mengingatkan generasi muda akan peristiwa kelam tersebut sekaligus mencegah keberulangan di masa depan. “Kami selalu mendorong hadirnya negara dalam kasus ini. Kami juga mendorong pemerintah Kota Surabaya bersedia untuk melakukan memorialisasi peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Surabaya agar sejarah kelam peristiwa tersebut tidak hilang begitu saja.” Tutur Veryanto.

Andy Irfan menegaskan bahwa tantangan ke depan akan semakin berat. “Dahulu, Jokowi punya janji yang sangat jelas tentang penyelesaian kasus HAM. Tapi semua janji itu tidak pernah ditepati. Dan sekarang, presiden terpilih justru orang yang dahulu menjadi bagian dari rezim Orde Baru, dan menjadi terduga pelaku dalam perkara kejahatan HAM”. “Impunitas dalam urusan HAM masih akan menjadi masalah utama. Para terduga pelaku kejahatan HAM selalu bersembunyi di kekuasaan. Akhirnya masalah pelanggaran HAM yang merupakan masalah akuntabilitas hukum selalu bergeser menjadi masalah politik.” Katanya.

Selama lebih dari dua setengah dekade, dari pemerintahan Megawati, SBY dan Jokowi, penuntasan kasus HAM selalu berjalan di tempat. “Dalam kasus penculikan aktivis 97/98, dengan sangat tegas dan jelas, pada 2009 DPR RI telah mengeluarkan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah. Melaksanakan Pengadilan HAM, kedua dibentuk tim pencarian orang hilang, Reparasi dan rehabilitasi nama keluarga dan aktivis yang diculik, dan ratifikasi konvensi internasional tentang pencegahan orang hilang. Tetapi, sampai hari ini rekomendasi ini tidak pernah dijalankan Pemerintah. Dan DPR pun juga tidak pernah mendorong pemerintah untuk menjalankannya.”

Dalam diskusi ini kembali disinggung upaya mendokumentasikan peristiwa pelanggaran Berat HAM 1998 di Kota Surabaya. Veriyanto menegaskan bahwa Komnas Perempuan akan mendukung upaya ini, apalagi pada tahun lalu komnas perempuan telah memulai pendiskusian agenda ini.

Sebarkan !