Rapat Koordinasi Pemenuhan Hak Korban Teror Bom di Surabaya bersama dengan BNPT dan LPSK


Pada hari Kamis tanggal 12 Juli 2018, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya bersama dengan pihak gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) mengadakan rapat koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta perwakilan korban teror bom Surabaya di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jl. Ngagel, Surabaya. Pertemuan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengetahui mengenai prosedur pemulihan korban tindak pidana terorisme, mulai dari pemulihan secara medis dan sosial, rehabilitasi hingga kompensasi yang bisa diterima dari negara.

Pihak BNPT menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Anti Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 yang direvisi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, salah satunya membicarakan mengenai pemulihan korban. Sejak dibentuk pada tahun 2010, BNPT ditugaskan dalam mengurai masalah dari hulu ke hilir, sehingga dalam hal ini, pemulihan korban teror bom Surabaya juga menjadi kewajiban BNPT sebagai pemegang kendali penanggulangan tindak terorisme di Indonesia. Sedangkan LPSK diberikan kewenangan untuk membantu memulihkan korban dengan cara melakukan pendataan kerugian, baik secara psikis maupun materil. Pada kasus terorisme sebelum UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, posisi korban terorisme sangat lemah karena bukan termasuk tindak pidana yang mendapat prioritas perlindungan dan layanan oleh LPSK. Namun dalam Undang-Undang Anti Terorisme yang baru, hak korban dan masa tanggap darurat sudah diatur, termasuk hak dalam mendapatkan rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial.

Sebelumnya di hari yang sama, pihak BNPT dan LPSK telah melakukan audiensi dengan Pemerintah Kota Surabaya mengenai upaya pemulihan korban. Audiensi dengan Pemerintah Kota Surabaya menghasilkan kesepakatan bahwa ada dua wilayah kerja yang berkewajiban dalam melakukan penanganan terhadap korban tindak pidana terorisme. Wilayah kerja pertama yakni saat kejadian, korban tindak pidana terorisme wajib ditangani oleh pihak Pemerintah Kota. Sedangkan wilayah kerja kedua yakni setelah kejadian, korban tindak pidana terorisme wajib ditangani oleh LPSK. Apabila pihak Pemerintah Kota sudah menutup kerugian yang dialami oleh korban, maka LPSK tidak kemudian memberikan apa yang sudah ditanggung oleh Pemerintah Kota, melainkan berkewajiban dalam melanjutkan yang belum terpenuhi.

Pertemuan ini menghasilkan beberapa poin penting, di antaranya:

  1. Ada dua skema yang bisa ditempuh oleh korban tindak pidana terorisme, pertama yakni melalui putusan pengadilan, bahwa semua pengeluaran harus disiapkan bukti fisiknya, lalu LPSK akan menghitung kerugian dan yang berhak memutuskan adalah hakim melalui proses pengadilan; kedua, mengajukan surat kepada Kementerian Sosial (Kemensos) dengan tembusan BNPT. Secara teknis, Kemensos akan berkoordinasi dengan Dinas Provinsi untuk mengirimkan permohonan ke Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. Selanjutnya korban akan diminta untuk melakukan perjanjian yang menyatakan bahwa ganti rugi yang diajukan sesuai dengan kerugian yang dialami.
  2. Biaya kerugian yang sudah ditanggung oleh pihak gereja memungkinkan adanya ganti rugi, namun pihak BNPT tidak dapat menjamin hal tersebut dengan alasan sulitnya prosedur-prosedur yang ada dalam birokrasi pemerintahan.
 
Sebarkan !