Refleksi 5 Tahun Perjalanan Advokasi Syiah Sampang

Deklarasi Bersama “KAMI BERHAK PULANG”

Selasa, 21 Maret 2017, sejumlah organisasi yang tergabung dalam jaringan advokasi syiah Sampang, yakni Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Yakkum Emergency Unit (YEU), Ahlul Bait Indonesia (ABI) wilayah Jawa Timur, Amnesty International dan Asian Human Rights Commision (AHRC), mengadakan acara refleksi lima tahun perjalanan advokasi syiah Sampang.

Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mengajak masyarakat secara luas dan mengingatkan pemerintah agar segera mengambil langkah konkret atas persoalan yang dihadapi komunitas syiah di Kabupaten Sampang, Madura, yang sampai hari ini belum ada kejelasan menyangkut nasib mereka. Pada Agustus 2012, mereka diusir dari rumah-rumah mereka di Kabupaten Sampang setelah sebuah kelompok massa anti-syiah melakukan penyerangan terhadap mereka, kemudian otoritas pemerintah Kabupaten Sampang menempatkan komunitas syiah di Gelanggang Olahraga (GOR) Sampang. Pada tanggal 20 Juni 2013, pihak berwenang Kabupaten Sampang mengusir paksa dan memindahkan mereka ke rusun Jemundo, Kecamatan Sepanjang, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur.

Lima tahun setelah peristiwa terjadi, setidaknya organisasi-organisasi tersebut telah melakukan berbagai cara untuk mendesak pemerintah agar mengambil langkah dan memastikan pemulangan dilakukan secara bermartabat dan memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Janji penyelesaian dan pemulangan terhadap komunitas syiah Sampang setidaknya terjadi pada Juli 2013, Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, bertemu dengan anggota-anggota komunitas syiah dan berjanji untuk memulangkan mereka ke kampung halaman dan membangun kembali rumah-rumah yang telah dibakar atau dirusak. Selain itu, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk tim rekonsiliasi dengan menunjuk rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Dalam perkembangannya, tim rekonsiliasi tidak berjalan sesuai dengan harapan. Pada Agustus 2014, Menteri Agama Lukman Hakim (yang memegang jabatan serupa di pemerintahan sebelumnya) bertemu dengan komunitas syiah Sampang yang terusir paksa di Sidoarjo maupun para pemimpin dari komunitas sunni di Sampang. Ia menyatakan bahwa sangat optimis bila komunitas syiah bisa pulang ke rumah mereka.

Pergantian rezim Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi seolah-olah membawa angin segar bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, juga harapan besar bagi penyelesaian tragedi pelanggaran HAM yang dialami oleh komunitas syiah Sampang, seperti yang tertuang dalam janji politik presiden dalam nawa cita. Dalam janji politik itu, diantaranya adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga, namun faktanya sampai hari ini, tiga tahun Jokowi berkuasa, belum ada upaya apapun yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi komunitas syiah, bahkan ada kecenderungan lepas tangan atas persoalan ini seperti pernyataan yang disampaikan oleh Menteri agama pada saat menghadiri acara wisuda di UINSA pada hari Sabtu 18 Maret 2017. Beliau mengatakan bahwa belum memiliki solusi terkait kasus syiah Sampang dan menyerahkan sepenuhnya persoalan ini pada Pemerintah Daerah¹. Pernyataan ini diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh kepala Litbang Kemenag RI yang mengatakan bahwa ide memulangkan komunitas syiah Sampang ke kampung halaman bukanlah ide yang tepat, selama masyarakat di Sampang belum menerima seratus persen. Yang penting saat ini adalah mereka aman di tempat sekarang dan diberikan jadup (jatah hidup).”

Menurut keterangan yang disampaikan oleh Ustad Tajuk Muluk, sampai saat ini sekitar 81 KK dan 335 jiwa hidup di Rusun Jemundo, Sidoarjo, yang semakin memprihatinkan. Selain karena fasilitas yang terus memburuk, banyak diantara para penyintas yang bertanya-tanya kapan mereka bisa pulang kembali ke kampung halaman dan hidup bertani seperti dulu. Mereka juga mengungkapkan kekecewaan bahwa berbagai upaya sudah dilakukan untuk mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi, namun tidak kunjung ada tindakan apapun. Pihak pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur, memberikan jatah hidup bulanan sebesar Rp709.000,- per bulan untuk satu keluarga. Jumlah ini tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sebulan, sehingga mereka terpaksa menjadi buruh pengupas kelapa.

“Bagi kami ada yang jauh lebih penting dari jadup yaitu tentang kepulangan kami ke kampung halaman, kami benar-benar sudah cukup bersabar menunggu di rusun, karena selama ini kami berkeyakinan bahwa pemerintah sanggup menyelesaikan masalah kami. Kami sekarang sudah resah berada di rusun karena tidak adanya penyelesaian yang jelas ditambah lagi dengan kondisi bangunan rusun yang mengkhawatirkan. Kondisi bangunan, di semua titik bocor dan air merembes dan setiap saat bisa saja rubuh, ketenteraman dan keselamatan kami jauh lebih penting daripada jadup, kami tidak mau dikubur hidup-hidup tanpa arti.

Di sisi lain saat ini kami juga tidak lagi punya pekerjaan, pekerjaan yang kami jalani selama ini sebagai buruh kupas kelapa dengan penghasilan yang tidak seberapa praktis berhenti akibat dari para juragan kelapa yang tak lagi mengirim ke rusun, sedangkan jadup yang biasa kami terima berhenti sejak dua bulan lalu. Sedangkan tahun ini, sejumlah sekitar 15 anak lulus SD, 6 anak lulus SMA, dan 2 anak lulus SMP, kami belum tau akan melanjutkan kemana pendidikan mereka, sampai saat ini kami juga belum mendapatan akses dan layanan kesehatan yang cukup memadai (Akses BPJS).”

Terkait dengan hal tersebut, kami dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Yakkum Emergency Unit (YEU), Ahlul Bait Indonesia (ABI) wilayah Jawa Timur, Jaringan Gusdurian, Keuskupan, GKI, Pusat Studi HAM (Pusham) Ubaya, dan penyintas dengan ini menyatakan deklarasi bersama “Kami Berhak Pulang” yang mendesak pemerintah (Presiden, Gubernur, serta Kepala Daerah terkait) untuk:

  1. Mengambil langkah strategis dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk memulangkan pengungsi ke kampung halamannya;
  2. Mengembalikan hak-hak pengungsi yang dihilangkan secara paksa selama berlangsungnya pengusiran;
  3. Memberikan jaminan keamanan kepada para pengungsi pasca pemulangan;
  4. Memulihkan keadaan sosial kemasyarakatan pasca konflik di Kabupaten Sampang dan kelompok-kelompok masyarakat lain yang mengalami nasib yang sama;
  5. Memastikan tidak akan terjadi lagi pengusiran kelompok minoritas atau komunitas tertentu dalam internal negara Indonesia.

Fatkhul Khoir
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya
081230593651

¹dikutip dari Kompas, 2016. “Tak Punya Solusi, Menag Pasrahkan Nasib Pengungsi Syiah ke Pemda” dalam regional.kompas.com (daring) diakses pada tanggal 19 Maret 2017.

Sebarkan !