Pernyataan Sikap: Jawa Timur Tidak Layak Mendapatkan Penghargaan Provinsi Terbaik Timdu Penanganan Konflik Sosial

Pernyataan Sikap:
Jawa Timur Tidak Layak Mendapatkan Penghargaan Provinsi Terbaik Timdu Penanganan Konflik Sosial

 

Sebagaimana telah kita ketahui bersama pada tanggal 16 Mei 2019, pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mendapatkan penghargaan sebagai Provinsi Terbaik Timdu Penanganan Konflik Sosial. Penghargaan ini bertentangan dengan fakta di lapangan bahwa selama ini Jawa Timur menjadi salah satu wilayah yang menyimpan potensi konflik baik itu konflik berlatar belakang agama, konflik agraria dan sumber daya alam, kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Penghargaan yang didapat oleh Khofifah merupakan sebuah bentuk penghargaan yang prematur, mengingat ia baru menjabat menjadi gubernur selama 4 bulan pasca pelantikan, dan dalam program “Nawa Bhakti Satya” Khofifah tidak menunjukan komitmen yang jelas terkait upaya penanganan konflik sosial.

Sebaliknya, jika melihat kinerja gubernur sebelumnya (Soekarwo), selama lima tahun terakhir, Jawa timur justru telah berkembang menjadi sebuah provinsi yang memiliki kerentanan konflik sosial yang sangat tinggi, yang mana setiap konflik tersebut memiliki potensi untuk menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun.

Berdasarkankan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, sejak terjadinya peristiwa penyerangan dan pengusiran paksa komunitas Syiah Sampang pada tanggal 12 Agustus 2012, hingga hari ini tidak ada upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selain konflik berlatar belakang agama dan berkeyakinan, konflik agaria dan sumber daya alam masih menempati urutan tertinggi konflik yang ada di Jawa Timur, setidaknya ada 19 kasus konflik berlatar belakang agraria di Jawa Timur dengan luas tanah 6726 hektar, dengan rincian pelibatan: warga 331.395 KK, militer 15 kasus, perusahaan swasta 4 kasus dan PTPN 3 kasus. Sedangkan wilayah berkonflik dirinci sebagai berikut: Blitar 2 kasus, Banyuwangi 1 kasus, Jember 4 kasus, Situbondo 1 kasus, Pasuruan 8 kasus, Lumajang 1 kasus, dan Surabaya 2 kasus.

Selain itu sepanjang tahun 2018 juga telah terjadi pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berependapat di muka umum. Setidaknya ada 16 peristiwa pembubaran paksa kegiatan aksi maupun kegiatan diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa Papua, Aksi Kamisan dan diskusi sejarah yang dilakukan di kampus Universitas Negeri Malang serta pembubaran acara bedah buku yang dilakukan oleh pegiat literasi di Blitar.

Sebagaiama ditegaskan dalam Undang-Undang no. 07 tahun 2012, bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk meredam potensi konflik, membangun sistem peringatan dini, penghentian konflik, Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban, Pemulihan Pascakonflik (Rekonsiliasi, Rehabilitasi, Rekonstruksi).

Sebagai organisasi HAM yang juga merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil, KontraS Surabaya menunggu dan mendesak Gubernur Khofifah untuk segera membuktikan komitmennya terhadap penyelesaian konflik sosial di Jawa Timur sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Udang Penanganan Konflik Sosial, secara spesifik konflik yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan (Syiah Sampang) serta konflik agraria dan sumber daya Alam. Selain itu juga mencabut terkait regulasi yang bersifat diskriminatif (Pergub 55 tahun 2013 dan SK Gub 188 terkait Ahmadiyah).

Sebarkan !