Matinya Kebebasan Mimbar Akademik

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, mengutuk tindakan pembubaran pemutaran film Senyap yang dilaksanakan pada hari rabu, 29 april 2015, oleh unit kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Unair yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Hukum untuk Indonesia (SMHI).

Pemutaran film ini sedianya dilaksanakan di Gedung B ruang 303 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, karena alasan teknis kemudian pindah tempat di law café Gedung A Fakultas Hukum Unair, acara sempat berlangsung sekitar 15 menit, kemudian pihak Dekanat melalui bagian perlengkapan mendatangi panitia acara dan meminta pemutaran film tidak dilanjutkan, dengan alasan bahwa panitia tidak mendapatkan ijin dari pihak Dekanat Universitas, namun setelah melalui proses negosiasi pemutaran film tetap dilanjut.

Kurang lebih 10 menit berlangsung pemutaran film kemudian pihak kampus mendatangi kembali panitia agar panitia menghentikan kegiatan yang sedang berlangsung, dengan alasan bahwa kegiatan tersebut tidak mendapatkan ijin dan pihak fakultas menyerahkan surat pelarangan dengan alasan bahwa Film Senyap tidak mendapatkan izin dari Lembaga Sensor Film untuk dipertontonkan kepada khalayak umum dan sekaligus membatalkan penandatangan/mengetahui pada proposal dan pengajuan ijin kegiatan, surat tersebut ditandatangani  oleh a.n Dekan wakil Dekan I Prof.Dr Eman. S.H.,M.S.

Pelarangan kegiatan ini menunjukkan hilangnya ruang kebebasan mimbar akademik dan menjadi tempat kajian ilmiah bagi mahasiswa, seperti kita ketahui secara bersama bahwa sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Fakultas Hukum Universitas Airlangga juga merupakan salah satu institusi yang dinilai dalam akreditasi Asean University Network (AUN), dan bagaimana kampus menjadi motor perubahan yang lebih maju bila iklim kebebasan akademik diberangus dengan mudahnya.  

Film Senyap mengisahkan keluarga korban pembantaian massal, yang terjadi pada era seputar peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada 1965. Bagi sebagian kalangan, angle yang diambil Senyap mungkin dianggap sensitif. Padahal film garapan Joshua Oppenheimer ini hanya satu dari sekian banyak sudut pandang tentang Peristiwa 1965.

Dalam hal ini seharusnya pihak kampus tidak melarang kegiatan tersebut, karena bertentangan dengan Tri Darma Perguruan Tinggi, film ini justru akan membuka pemikiran mahasiswa sehingga terbuka kemungkinan bagi mahasiswa untuk melakukan kajian terhadap peristiwa yang dianggap kontroversi oleh pemerintah.

Kejadian seperti ini tidak hanya sekali ini terjadi di kampus, sebelumnya pada bulan Desember 2014 pihak kampus Brawijaya juga sempat melarang pemutaran film Senyap, untuk itu seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan menjamin terbukanya ruang kebebasan mimbar akademik bagi mahasiswa dan juga memberikan sanksi tegas bagi kampus yang melarang aktivitas bagi mahasiswa untuk mendiskusikan apapun yang berguna bagi kepentingan pendidikan mahasiswa.

 

 

Fatkhul Khoir

 

Koordinator Badan Pekerja
KontraS Surabaya

 

Sebarkan !