Seminar Bertema “Radikalisme dan Kekerasan Berlatarbelakang Agama di Jawa Timur”


Hak untuk bebas dalam berkeyakinan dan beragama merupakan kebebasan internal (forum internum), yang dapat diartikan sebagai kebebasan atau hak yang tidak boleh diintervensi, dipaksa, dipengaruhi dengan cara-cara manipulatif oleh negara atau pihak manapun. Hak tersebut sesungguhnya telah dijamin sepenuhnya di Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 E, dan Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenan Civil and Politic Rights. Akan tetapi dalam praktiknya pemenuhan, penghormatan dan perlindungan atas hak dasar ini nyatanya tidak dapat dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia. Sebagian warga negara, terutama dari kelompok minoritas sangat sering terabaikan. Bahkan dalam banyak kasus, tidak sedikit kelompok intoleran menjadikan perbedaan keyakinan sebagai alat pembenar untuk menghakimi kelompok lain utamanya terhadap mereka yang dianggap meyakini suatu keyakinan agama yang dianggap berseberangan dengan mayoritas.

Berdasarkan data dari Komnas HAM terdapat peningkatan aduan pelanggaran kebebasan beragama dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, terdapat tiga pelanggaran utama antara lain; Pertama, tindakan penyegelan, perusakan atau penghalangan pendirian rumah ibadah (30 aduan). Kedua, diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu (22 aduan). Ketiga, penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah (15 aduan). Pada 2015 terdapat peningkatan jumlah aduan yakni terdapat 87 aduan yang diterima oleh Komnas HAM. Sedangkan pada 2016 aduan yang diterima oleh Komnas HAM mencapai 97 aduan. Data-data tersebut merupakan bukti bahwa dari tahun ke tahun semakin banyak konflik atau pelanggaran hak dan kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan agama di Indonesia.

Fakta ini pula yang mendorong kami, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab kekerasan dan radikalisme agama di Jawa timur; juga mengapa dan bagaimana propaganda radikalisme agama dapat diterima oleh sebagian orang dan menyeretnya lebih jauh dalam gerakan terorisme. Hasil dari penelitian yang kami lakukan selama lima tahun terakhir ini kemudian disampaikan pada acara seminar bertema “Radikalisme dan Kekerasan Berlatarbelakang Agama di Jawa Timur” pada hari Jumat, 27 Januari 2017 di Surabaya. Dalam acara ini, hadir Ketua Komnas HAM, Kepala Kemenag Jawa Timur dan juga Kapolda Jawa Timur sebagai narasumber. Sedangkan peserta yang hadir merupakan perwakilan komunitas-komunitas keagamaan, aktivis, dan elemen-elemen masyarakat lainnya.

Dalam seminar bertajuk kekerasan berlatarbelakang agama tersebut, Komnas HAM memberikan keterangan bahwa beberapa bentuk pelanggaran kegiatan beragama antara lain: pembatasan/pelarangan dan perusakan tempat ibadah; pembatasan dan pelarangan ibadah atau kegiatan keagamaan; ancaman atau intimidasi terhadap kelompok keagamaan, dan lainnya. Pada umumnya pelaku pelanggaran yang diadukan kepada Komnas HAM adalah pemerintah setempat, aparat pemerintah, dan organisasi masyarakat. Pola pelanggaran yang terjadi juga secara umum sama antara satu dengan lainnya yakni terdapat inisiatif (dapat berbentuk penolakan, diskriminasi, atau konflik) dari ormas tertentu mengenai kegiatan atau aktivitas suatu agama tertentu. Kemudian melalui inisiatif tersebut pemerintah setempat dan aparat pemerintahan turut terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam konflik tersebut (sebagai mediator, pengaman, dan pihak berwenang).

Menurut pendapat dari bapak Evendi Anwar, sebagai perwakilan dari Kemenag, konflik atau pelanggaran berlatarbelakang agama pada umumnya disebabkan oleh antara lain; kecenderungan munculnya kelompok-kelompok masyarakat dengan orientasi gerakan yang bercorak komunalistik, partisan, eksklusifistik, sektarian bahkan fasistik, yang cenderung mensolusikan masalah dengan cara-cara kekerasan; Institusi sosial-politik, kurang mampu memainkan peran pencerahannya dalam masyarakat; Intitusi negara masih terjebak dengan prosedural tekhnis birokrasi, sehingga bergerak sangat lamban; Institusi agama cenderung terisolasi, formalistik, dogmatis, eksklusif, disfungsional dan terjebak dalam proses pragmentasi yang menghawatirkan.

Kemenag menuturkan bahwa ada beberapa rencana solusi untuk menjaga kerukunan antar agama, antara lain dengan cara menggalakkan triologi kerukunan, yaitu: 1. Kerukunan intern umat Beragama. 2. Kerukunan antar Umat Beragama. 3. Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah; membentuk wadah musyawarah antar umat beragama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali-wali Gereja se-Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi); serta mengadakan kerjasama antar agama melalui dialog dan aksi damai bersama seperti aliansi antar agama untuk penangkalan narkoba, aliansi antar agama untuk pemberantasan judi, aliansi antar agama untuk pemberantasan pornografi, aliansi lintas agama untuk memerangi minuman keras, aliansi antar agama untuk penanganan kriminalitas, aliansi antar agama untuk penyantunan sosial.

Dalam kesempatan ini, KontraS Surabaya juga turut menyampaikan beberapa rekomendasi terkait maraknya pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni:

  1. Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus mencabut kebijakan-kebijakan diskriminatif yang selama ini menjadi dasar legitimasi berbagai bentuk tindak kekerasan. Secara khusus pemerintah harus memberikan perhatian dan perlindungan bagi kelompok yang rentan atas ancaman kekerasan;
  2. Kapasitas dan komitmen aparatur negara (pemerintah, lembaga-lembaga negara, dan aparatur hukum) untuk mengelola keberagaman dan pencegahan radikalisme harus diperkuat; termasuk dalam hal ini kerjasama lintas sektoral di antara mereka;
  3. Pemerintah menyiapkan sistem peringatan dini (early warning system) yang dikembangkan secara bersama-sama dengan masyarakat sipil untuk dapat mendeteksi sekaligus melakukan pencegahan terhadap potensi atau ancaman kekerasan dan radikalisme agama;
  4. Pemerintah bersama masyarakat sipil untuk menyiapkan platform dialog dan resolusi konflik untuk menangani kasus kekerasan dan radikalisme agama;
  5. Pemerintah memberikan perhatian khusus kepada daerah-daerah yang memiliki kerentanan terhadap meluasnya kekerasan dan radikalisme agama melalui pendekatan sosial ekonomi berbasis inklusi sosial;
  6. Kerjasama antar komunitas sipil dalam mengupayakan pencegahan kekerasan dan radikalisme agama harus diperkuat, termasuk dalam hal ini saling berbagi informasi dan praktik terbaik.
 
Sebarkan !