Vonis Terhadap Budi Pego, Merupakan Ancaman Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Selasa, 23 Januari 2018, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Banyuwangi menjatuhkan vonis bersalah terhadap Budi Pego atas tuduhan “menyebarkan” paham komunisme, dengan hukuman 10 bulan penjara. Vonis ini jauh lebih rendah dari tututan jaksa yaitu 7 tahun.

Kasus ini berawal dari aksi pemasangan spnduk “Tolak Tambang” yang dilakukan warga Desa Sumberagung pada tanggal 4 Maret 2017, di sepanjang jalan dari pulau Merah, hingga depan kantor Kecamatan Pesanggaran, sekitar pukul 12.00 WIB. Di depan kantor Kecamatan Pesangrahan tiba-tiba muncul 5 orang yang tidak dikenal dengan menenteng beberapa kamera, kemudian menghampiri warga dan memberikan 2 spanduk kepada warga, dan meminta warga untuk membentangkan spanduk. Kemudian 5 orang yang tidak dikenal tersebut melakukan pemotretan terhadap warga yang membentangkan spanduk tesebut.

Selain itu, berdasarkan keterangan yang disampaikan warga, bahwa pada tanggal 4 April 2017, saat persiapan dan pelaksanaan aksi yang dilakukan oleh Budi Pego bersama warga, terlihat beberapa personil polisi yang mengawal jalannya aksi pemasangan spanduk.

KontraS Surabaya melihat bahwa vonis bersalah terhadap Budi Pego, di bawah Pasal 107a dari UU No. 27/1999 karena menyebarkan paham Marxisme, Komunisme, dan Leninisme, merupakan bentuk kriminalisasi dan ancamanan nyata terhadap upaya masyarakat dalam memperjuangkan pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat, sesuai dengan dalam pasal 65 ayat 3 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bahwa dalam kasus Budi Pego ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak pernah bisa menghadirkan alat bukti yang berupa dua spanduk yang bergambar mirip logo palu arit. Selain itu Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya hanya mendasarkan keterangan Ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum, dan mengabaikan keterangan Saksi Ahli yang dihadirkan Penasehat Umum Terdakwa yang menilai bahwa “logo palu arit” dalam spanduk demo warga tolak tambang PT BSI, yang diperlihatkan melalui rekaman vidoa yang diputar pada saat persidangan, belum cukup unsur untuk disebut melawan hukum. Karena para demonstran tidak mengucapkan ajakan Komunisme maupun Marxisme. Lebih lanjut, dalam kasus ini kami tidak melihat hanya dari sisi vonis 10 bulan penjaranya, tapi lebih jauh bahwa vonis ini merupakan bentuk ancaman terhadap demokrasi dan hak berekspresi yang dijamin konstitusi.

Sebelumnya dalam kasus ini ada 4 orang yang ditetapkan sebagai tersangka pasal 107a dari UU No. 27/1999, antara lain, Heri Budiawan alias Budi Pego, Cipto Andreas, Trimanto, dan Dwiratnasari. Keempatnya merupakan warga Desa Sumberagung.

Berikut Uraian Kronologis :

Pada tanggal 4 Maret 2017, warga Desa Sumberagung melakukan aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” di sepanjang jalan dari pulau Merah, hingga depan kantor Kecamatan Pesanggaran. Aksi warga ini dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, salah satunya aksi-aksi yang dilakukan kelompok perempuan menolak penanaman kabel listrik untuk pertambangan PT. BSI. Namun, aksi-aksi yang dilakukan tersebut tetap tidak mendapatkan respon positif dari pihak PT. BSI ataupun Pemkab Banyuwangi.

Sekitar pukul 07.00 WIB, warga berkumpul di rumah Saudara Budi, untuk melakukan pembagian tugas dan membuat atribut aksi, penulisan spanduk dan membagi tugas untuk melakukan pemasangan spanduk. Menjelang pukul 09.00 WIB, spanduk mulai dipasang dengan mengambil titik awal pantai Pulau Merah, Desa Sumberagung, dan rencananya akan berakhir dengan melakukan pemasangan spanduk serupa di depan kantor Kecamatan Pesanggaran.

Sekitar pukul 12.00 WIB, sebagian warga yang bertugas untuk melakukan pemasangan spanduk di depan Kantor Kecamatan sudah mulai bersiap-siap melakukan pemasangan spanduk. Pada saat pemasangan spanduk “Tolak Tambang” di sekitar kantor Kecamatan Pesangrahan, kemudian mucul 5 orang yang tidak dikenal dengan menenteng beberapa kamera, kemudian menghampiri warga dan memberikan 2 spanduk kepada warga, dan meminta warga untuk membentangkan spanduk tersebut.

Tanpa menaruh curiga, merekapun langsung membentangkan spanduk tersebut, karena menerut mereka isi spanduk tersebut berisikan tolak tambang. Kemudian 5 orang yang tidak dikenal tersebut melakukan pemotretan terhadap warga yang membentangkan spanduk tesebut. Selesai melakukan pemotretan dan wawancara kepada salah satu warga, kemudian 5 orang tersebut menghilang begitu saja.

Sehari setelah aksi yang dilakukan warga, kemudian beredar kabar di media bahwa terdapat dua spanduk yang dibentangkan warga terdapat gambar logo mirip “palu arit”. Kemudian pada tanggal 07 Maret 2017 Polres Banyuwangi melakukan pemeriksaan terhadap Ratna, Cipto Andreas dan Trimanto, warga Dusun Silirbaru Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran, yang diduga membentangkan dua spanduk bergambar “palu arit”. Status mereka diperiksa selaku saksi terkait spanduk berlogo “palu arit”.

Kemudian pada tanggal 10 April 2017, Polres Banyuwangi melakukan pemeriksaan terhadap 22 orang yang di duga terlibat dalam aksi tanggal 4 Maret 2017. Dari hasil pemeriksaan tersebut mengerucut pada 4 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 12 April 2017 dengan tuduhan melanggar pasal 107a UU No. 27/1999.

Dari hal tersebut diatas, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Surabaya) mengecam keras vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, dan mendesak agar Polres Banyuwangi segera mengeluarkan SP3 Terhadap Andreas, Trimanto, dan Dwiratnasari, yang saat ini masih berstatus tersangka.

Fatkhul Khoir
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya
081230593651

Sebarkan !