Tolak Reforma Agraria Palsu! Laksanakan Reforma Agraria Sejati!

Sekian lamanya pembangunan nasional Indonesia telah minus Reforma Agraria, tetapi surplus modal asing dan meningkatnya konsentrasi SDA untuk korporasi berkat kebijakan negara yang memberikan izin dalam skema hukum administrasi. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, yang kemudian digantikan oleh masa transisi demokrasi, pembangunan nasional berlandaskan Reforma Agraria masih belum dijadikan fondasi pembangunan nasional. Meski saat ini ada kebijakan agraria yang oleh pemerintahan Jokowi disebut sebagai Reforma Agraria, sejatinya jauh dari apa yang digariskan dalam UUPA 60.

Pemerintahan Jokowi-JK tidak secara eksplisit memasukkan Reforma Agraria ke dalam sembilan visi Nawacita-nya. Meski menjadi program prioritas nasional, akan tetapi RA tidak masuk dalam fondasi pembangunan nasional, yang berfokus pada tiga hal: infrastruktur, pembangunan manusia, dan deregulasi ekonomi.

Kami memandang dua fondasi pembangunan tersebut yakni infrastruktur dan deregulasi ekonomi adalah ancaman serius bagi rakyat, khususnya petani, kaum miskin kota, dan buruh. Agenda pembangunan melalui modal asing (PMA/PMDN) dan korporatisasi SDA, akan semakin menempatkan negara ini sekadar menjadi pelayan korporasi, baik internasional maupun nasional. Alih-alih akan membangun manusia Indonesia sebagaimana dalam salah satu fokus pembangunan nasional pemerintahan Jokowi, justru makin menenggelamkan peran rakyat dalam proses pembangunan yang berkeadilan. Dan itu hanya mungkin, dalam pandangan kami, melalui Reforma Agraria sejati sebagai landasannya. Deregulasi ekonomi secara eksplisit menempatkan posisi Indonesia dalam desain korporasi internasional. Gunawan Wiradi mengilustrasikannya sebagai house of outdoor, sebuah rumah terbuka bagi para pemodal besar.

Undangan pada sebanyak-banyaknya Foreign Direct Investment (FDI), tentu selain untuk dana segar infrastruktur yang sedang dijalankan rezim Jokowi, juga melanggengkan monopoli korporasi atas SDA. Tepat pada titik ini pemerintahan Jokowi-JK telah mengkhianati amanat Pasal 33 UUD 1945. Di bawah payung besar deregulasi ini, rezim yang mendaku dirinya sebagai pelanjut perjuangan Bung Karno, akhirnya terbukti hanya menjadi pelanjut progam rezim sebelumnya yang diberi label MP3EI.

Meski reforma agraria masuk dalam program prioritas nasional yang mencakup lima program prioritas yang tertuang dalam Perpres No.45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2017 pada 14 Mei 2016, sayangnya dari lima program prioritas dalam RKP 2017 tersebut, sama sekali tidak menyentuh akar masalah ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria serta eksploitasi SDA yang terus berlangsung, yang mengakibatkan terjadinya krisis sosial-ekologis seperti serangkaian kekerasan yang terus terjadi antara masyarakat dengan korporasi. Kebijakan dalam RKP tahun 2017ini, kemudian ditindaklanjuti melalui Tim Kerja Reforma Agraria di bawah Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang telah menyusun persiapan dan pelaksanaan reforma agraria melalui koordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait.

Program reforma agraria sebagaimana yang tertuang dalam dokumen strategi nasional pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019 dapat diketahui RA Jokowi-JK adalah redistribusi tanah melalui dua model pelaksanaan (Sumber: Mempercepat reforma Agraria dalam rangka Kebijakan Pemerataan Ekonomi, Kantor Staf Presiden, 2017). Pertama, TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dengan luasan 9 juta ha, dengan dua skema. Pertama, legalisasi aset untuk lahan HGU yang terlantar dan tanah terlantar (tanah negara) seluas 0,4 juta ha, dan pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta ha. Kedua, redistribusi tanah 4,5 juta ha; berupa Tanah Transmigrasi Belum Bersertifikat 0,6 juta ha, Prona 3,9 juta ha, dan Hasil Penyelesaian Konflik Lahan dalam proses. Kedua, melalui Perhutanan Sosial (social forestry) yakni legalisasi akses untuk pemanfaatan hutan negara atau pemberian akses penguasaan lahan hutan dalam periode tertentu seluas 12,7 juta ha melalui Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat.

Kebijakan agraria Jokowi-JK dengan program legalisasi (sertifikasi) tanah yang sebelumnya sudah dikuasai masyarakat, tanpa kembali kepada garis UUPA 1960, tak akan menyelesaikan apa-apa: konflik agraria tetap merajalela, ketimpangan penguasaan alat produksi berupa tanah tetap terjadi, dan kami khawatir legalisasi tanah justru menguntungkan segelintir orang ketimbang petai itu sendiri. Meski dalam program Reforma Agraria Jokowi-JK (Lihat dokumen KSP, “Capaian 2 tahun Pemerintahan JKW-JK”) tercantum penyelesaian konflik. Namun dari angka 2.642 kasus ditahun 2016, hanya 251 kasus yang bisa diselesaikan.

Kami juga tidak lupa, Papanjati bersama jaringan Jatim bertahun-tahun memperjuangkan penyelesaian konflik agraria tanpa pernah melihat cahaya keadilan, hukum, ekonomi dan politik. Tanah moyang kami dirampas, di-HGU-kan. Kami mencatat, konflik tanah dan ketidakadilan sosial yang demikian disebabkan oleh perampasan tanah masa lalu yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Negara/PTPN maupun swasta, TNI, dan Perhutani. Jumlah kasus tanah mencapai 102 kasus, tersebar di 16 Kabupaten. Ini menempatkan Jawa Tim sebagai provinsi yang paling besar menyumbang konflik agraria nasional.

Tercatat, berdasarkan data dari Kementrian Pertanian, lahan sawah di Jawa Timur mengalami penurunan yang cukup signifikan, pada tahun 2013 terdapat sekitar 1,152,874.71 ha lahan kemudian menurun menjadi 1,102,863.00 ha lahan pada tahun 2013 (Statistik Lahan Pertanian 2014, Kementrian Pertanian). Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang menyebutkan jika setiap tahunnya sekitar 1000-1100 ha lahan produktif beralih fungsi. Selain penguasaan lahan terbesar di Jawa Timur masih dikuasai oleh sekitar 126 perusahaan perkebunan (swasta dan PTPN).

Ketimpangan yang terjadi menunjukan adanya eskalasi kasus konflik agraria dari tahun ke tahun yang jumlahnya terus meningkat. Hal tersebut semakin menunjukan jika telah terjadi perampasan besar-besaran terhadap ruang hidup rakyat. Sebagai contoh kasus konflik agraria yang terjadi di Wongsorejo Banyuwangi dan Petani Sengon di Blitar, mereka terpaksa berhadapan dengan negara karena hanya ingin mempertahankan hak atas tanahnya. Kasus alih fungsi kawasan konservasi, sebagaimana terlihat dalam kasus Tumpang Pitu Banyuwangi dan Pesisir Selatan Lumajang. Wilayah mereka terancam oleh rakusnya industri ekstraktif, karena dampak dari pertambangan ialah hilangnya daya dukung lingkungan untuk pertanian.

Sebagai contoh konflik agraria yaitu kasus petani Nipah Sampang Madura yang hingga saat ini belum terselesaikan, sekitar empat petani pejuang harus mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan lahan pertanian dari ekspansi infrastruktur pada era Orde Baru. Selanjutnya konflik yang melibatkan aparatus negara, tiga institusi militer yakni AD, AL dan AU, turut aktif menyumbang persoalan agraria. Tercatat sekitar 25 kasus dengan total luas sengketa mencapai 15.374, 29 ha, dengan total korban mencapai 93.600 jiwa. Pada praktiknya jika dipecah berdasarkan institusi masing-masing, maka AD menyumbang 7 kasus dengan luas sengketa 3.924 ha, AL dengan 12 kasus dengan luas sengketa 7.744, 79 ha dan AU sendiri dengan jumlah kasus sebanyak 6 kasus dengan luas sengketa mencapai 4.335, 5 ha. Kasus-kasus serupa juga terjadi pada beberapa daerah, bahkan terus bermunculan kasus-kasus yang baru seputar konflik agraria.

Parahnya dari tahun ke tahun, berbagai kasus ketidakadilan agraria ini dibiarkan tanpa penyelesaian, dengan pemberian pengakuan hak tanah rakyat. Kami juga memprediksi, konflik dan ketimpangan agraria akan terus berlangsung, bahkan makin tambah besar eskalasinya, jika liberalisasi sektor pangan dan SDA dengan mengundangkan peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum bagi beroperasinya usaha-usaha korporasi besar baik pangan, maupun SDA lainnya tetap dilanggengkan.

Beberapa regulasi yang bertolak belakang dengan semangat reforma agraria sejati di antaranya adalah Perpres No.44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dan Tertutup untuk Investasi (Liberalisasi sektor Perkebunan 95% untuk PMA) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melegalkan penguasaan tanah atau SDA hingga 95 tahun (Pasal 22: HGU).

Sehingga kami memandang, reforma agrariaJokowi-JK adalah “Reforma Agraria Palsu”. Oleh karena itu kami menuntut agar:

  1. Menolak Reforma Agraria yang tidak mencerminkan Reforma Agraria sejati.
  2. Melakukan evaluasi terhadap keberadaan tim penyelesaian agraria dengan melibatkan rakyat yang terlibat konflik.
  3. Mendesak BPN Provinsi Jawa Timur untuk mendata ulang kasus-kasus agraria di Jawa Timur yang melibatkan rakyat melawan birokrasi dan korporasi dan segera menyelesaikannya.
  4. Hentikan perampasan tanah/ruang hidup dengan dalih kepentingan umum serta kesejahteraan sosial.

Narahubung
Lasminto Papanjati 085234100087
Abd. Wachid YLBHI-LBH Surabaya 087853952524

Sebarkan !