Tolak Kriminalisasi Pimpinan dan Pelemahan Komisi Yudisial Selaku Lembaga Negara

30 Juni 2015, Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY) berdasarkan hasil rapat pleno Komisioner menetapkan sanksi Non Palu selama 6 bulan kepada Hakim Sarpin Rizaldi. Sanksi ini dijatuhkan oleh KY berdasarkan laporan pelanggaran Kode Etik Pedoman & Perilaku Hakim (KEPPH). Sebelumnya, hal ini merupakan rangkaian tak terputus dari bagaimana Hakim Sarpin mengabulkan gugatan Pra Peradilan Budi Gunawan (BG) terhadap KPK, yang pada akhirnya gugatan BG dikabulkan oleh Hakim tunggal Sarpin Rizaldi, sebagaimana kita ketahui bersama putusan tersebut menjadi kontroversial karena bertentangan dengan aturan KUHAP.

Dampak besar yang khalayak bisa ikuti bersama 2 pimpinan KPK akhirnya “dicari-cari” kesalahannya untuk ditetapkan sebagai tersangka.

Pada kasus Sarpin Rizaldi, KY sebagai Lembaga Negara yang menjalankan amanat Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 24b) dan Undang-undang 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial (Pasal 22, 22A, 22B, 22C, 22D, dan 22E) telah menjatuhkan sanksi Non Palu selama 6 Bulan kepada Hakim Sarpin Rizaldi, karena Sarpin Rizaldi sebagai Hakim dinilai melanggar KEPPH dengan bersikap tidak professional, yang antara lain dapat dilihat; Pertama, Sarpin dianggap tidak teliti dalam mengutip keterangan ahli yang dijadikan pertimbangan untuk memberikan putusan sehingga yang disampaikan ahli bertentangan dengan yang dimuat hakim dalam putusannya. Kedua, Sarpin tidak teliti menuliskan identitas ahli, dengan menyebut Prof Sidharta sebagai ahli hukum pidana. Padahal, Sidharta adalah ahli filsafat hukum. Ketiga, Sarpin diketahui menerima fasilitas pembelaan dari kuasa hukum secara gratis, dan bersikap tidak rendah hati, dengan tidak memenuhi panggilan KY.

Terhitung ±9 hari pasca sanksi yang dijatuhkan KY terhadap Sarpin Rizaldi, 2 orang Komisioner Komisi Yudisial ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh Polri berdasarkan laporan Sarpin Rizaldi ke Bareskrim Polri tanggal 30 Maret 2015 terkait pencemaran nama baik, Pasal 310 dan/atau 311 KUHP.

Menilai dan mengomentari putusan merupakan hak publik (terkait putusannya), dan adalah perkara yang biasa dan lumrah (mis. eksaminasi putusan), terlebih KY sebagai lembaga yang mengawasi hakim dan menjaga KEPPH, dalam menjalankan tugas, salah satunya adalah dengan melihat dan menilai putusan hakim, apakah dalam membuat dan/atau pada putusannya itu sendiri terdapat unsur pelanggaran etik sebagaimana yang diatur dalam Keputusan bersama Ketua MA & Ketua KY No. 047/KMA/SKB/IV/2009 & 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim.

KY dan siapapun juga dilarang mengintervensi independensi hakim dalam memutus suatu perkara, namun jika perkara tersebut telah diputus oleh hakim, maka putusannya tersebut menjadi hak publik untuk menilainya. Sehingga segala proses yang dilakukan KY dalam rangka menjalankan tugasnya sangat tidak tepat dan tidak patut untuk dikerdilkan dengan cara mengkriminalisasi 2 orang pimpinan yang sedang menjalankan tugasnya tersebut.

Hal diatas hanyalah satu dari sekian upaya untuk melemahkan fungsi dan wewenang Komisi Yudisial selaku lembaga negara dalam menjalankan tugasnya. Bentuk pelemahan yang lain adalah adanya Judicial Review Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Seleksi Pengangkatan Hakim dan wacana penghapusan Komisi Yudisial dari UUD 1945 yang disampaikan oleh hakim agung Suwardi, dalam pertemuan antara pimpinan Mahkamah Agung (MA) dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Berdasarkan dari uraian diatas untuk mendorong penegakan hukum (law enforcement) dan peradilan yang bersih, kami yang tergabung dalam Aliansi Tolak Kriminalisasi dan Pelemahan KY menyatakan :

  • Tolak dan hentikan kriminalisasi Pimpinan KY sekarang juga
  • Meminta Bpk. Ir. Joko Widodo Selaku Presiden RI yang merupakan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk mengambil sikap yang tegas dan jelas untuk menolak kriminalisasi Pimpinan KY
  • Tolak wacana penghapusan KY dari konstitusi dan bentuk pelemahan KY lainnya
  • Meminta Ketua MA memberikan klarifikasi atas pernyataan hakim agung Suwardi

Surabaya, 14 Juli 2015

Hormat kami;

  1. LBH Surabaya
  2. Kontras Surabaya (Fatkhul Khoir)
  3. Pusham Surabaya (Anton)
  4. Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (Pak Said Sutomo)
  5. Pak Syaiful Aris (Dosen Universitas Airlangga)
  6. Bi Siti Marwiyah (Dekan FH Unitomo)
  7. Malang Corruption Watch (Zainuddin)
  8. Dosen Universitas Trunojoyo Madura
  9. Surabaya Children Crisis Centre
  10. Slamet Hariyanto (Majelis Hukum dan HAM PW. Muhammadiyah)
  11. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Syari’ah dan Hukum UINSA
Sebarkan !