Reforma Agraria sebagai Dalih Pemerintah untuk Merampas Tanah Warga

Pada awal Februari 2018, terjadi pematokan secara misterius di lahan pertanian yang berukuran sekitar 200 hektar, yang terletak di desa Pandanwangi, Kecamatan Tempe, Kab Lumajang, Jawa Timur. Kepala Desa Pandanwangi, Edi Santoso, melalui surat tertanggal 3 Februari 2018 mengundang warga petani yang tergabung dalam organisasi Koppas (Komunitas Petani Pesisir Selatan) pada 17 Februari 2018, untuk menghadiri “Sosialisasi dan Pendataan Ahli Waris dari Pelaku Sejarah Babat Alas Tanah Rowo, yang berada di Dusun Pemukiman Desa Pandanwangi”. Namun surat undangan tertanggal 3 Februari 2018 tersebut baru diterima warga pada hari Jumat, 16 Februari 2018. Di lokasi tanah yang sedang digarap, kini dipasang patok-patok dengan menggunakan cor, yang dilakukan sepihak oleh Kepala Desa Edi Santoso, Babinsa (Slamet), Pak Nipan (pamong Desa Pandanwangi), dan Asnawi (pamong Desa Pandanwangi). Tindakan pemasangan patok ini merupakan aksi sepihak yang tidak pernah jelas apa tujuannya, apa kepentingannya, dan dasar hukumnya.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ketua Koppas, bahwa sejak tanggal 3-5 Mei 2018 Kepala Desa Pandanwangi berserta jajaranya dengan didukung oleh aparat kemananan dari kepolisian dan Babinsa berupaya untuk melakukan pengukuran dan pematokan lahan dengan dalih “Reforma Agraria” untuk merampas kembali tanah-tanah reklaiming. Laporan ke institusi-institusi publik sudah dilakukan sejak sebulan terakhir, namun respon cenderung sangat lambat. Akibatnya, saat ini eskalasi konflik meningkat dan petani versus massa bayaran desa berpotensi bentrok di lapangan.

Berikut uraian singkat penguasaan lahan pertanian yang dilakukan warga:

Bahwa pada tahun 1948 pasca kemerdekaan warga petani membuka tanah rawa, atau ‘babat alas’ untuk keperluan pertanian dan kehidupan masyarakat. Warga menuturkan bahwa saat membuka tanah rawa harus menghadapi binatang-binatang berbahaya/buas, seperti ular, buaya rawa, dan lain sebagainya. Saat melakukan pembukaan lahan warga desa Pandanwangi mendapat dukungan dari Pak Jasir, Kepala Desa Pandanwangi, karena dianggap menjalankan amanat konstitusi, pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Lahan pertanian tersebut kemudian ditanami pala dan jagung. Pada tahun 1969, tanah-tanah yang sudah produktif tersebut mendapat Pipil P.2/Petok D sebagai bukti bayar pajak tanah, kemudian warga meyakini bahwa untuk mendapatkan hak tersebut adalah dengan membayar kewajiban pajak.

Pada tahun 1973, pamong Desa Pandawangi pada saat itu (Pak Sulihan dan Senam) mendatangi satu per satu warga yang megelola lahan dan meminta Pipil P.2/Petok D dengan alasan untuk keperluan pembuatan sertifikat. Tanpa menaruh curiga karena dianggap tujuannya baik untuk penyertifikatan, maka warga memberikannya. Namun, diketahui belakangan bahwa pemerintah desa yang saat itu Kepala Desa Sutadji, diduga dipaksa oleh pihak militer, khususnya dari Kodam V/Brawijaya melalui Kodim yang menugaskan Kapten Sapra’i serta Babinsa yang bernama Rosadi dan Gopar. Keterangan ini disampaikan Alm. Sutadji, Kepala Desa pada saat itu, kepada Pak Suroso. Kemudian beredar kabar di tengah masyarakat bahwa salah satu warga yang bernama Pak Sariani, yang tetap berupaya mempertahankan hak tanah dan pengelolaan pengairan (atau istilah lokal, tuwowo, kelompok tani untuk pengairan 1 sawah), dibunuh dengan tuduhan PKI. Tentu, hal ini kemudian membuat masyarakat merasa terancam.

Pada tahun 1974, semua warga petani yang telah menyerahkan Pipil P.2/Petok D dikumpulkan di Gandog (semacam balai Desa Pandanwangi, sekarang rumahnya Pak Sutadji). Warga dipaksa menyerahkan tanah beserta dengan surat-suratnya oleh pihak TNI AD. Pihak TNI AD menyatakan, “Warga diminta untuk meninggalkan lahan sawah (tanah rowo), dan bila tidak meninggalkan segera tanahnya maka dianggap sisa-sisa G30S/PKI.” Saat itu, tidak ada satupun warga yang berani melawan, karena situasinya sangat mencekam karena ancaman dari pihak TNI AD, sekalipun warga petani tidak ada hubungannya dengan PKI. Setelahnya, warga berangsur-angsur meninggalkan lahan sawahnya.

Tanah-tanah pertanian sekitar 200 hektar yang ditinggalkan oleh warga petani (86 kepala keluarga) kemudian digarap oleh ‘warga transmigrasi lokal’ (translok, yang merupakan warga pensiunan TNI AD), dan hal ini berlangsung secara terus menerus di lapangan. Uniknya, tanah-tanah tersebut justru digarap sebagian oleh warga petani dengan menjadi buruh tani, atau sebagian lain menyewa lahan tersebut ke TNI AD atau ‘warga translok’. Akhirnya pada tahun 1993-1996, terbit 46 sertifikat tanah atas nama ‘warga translok’.

Pada tahun 1998-1999, setelah mengetahui Soeharto lengser dari kekuasaannya, warga kemudian memberanikan diri untuk kembali memperjuangkan tanah yang dulu direbut paksa di era Orde Baru, dengan melakukan aksi di gedung DPRD Lumajang dan melakukan reklaiming secara terbuka. Aksi dan reklaiming ini diketahui oleh ‘warga translok’ dan juga pihak TNI AD. Perwakilan Koppas juga mengadukan persoalan ini ke Komnas HAM dan BPN Pusat, kemudian pihak BPN memerintahkan Kepala Kanwil BPN Provinsi 3 Jawa Timur, untuk melakukan penelitian dan mengambil langkah-langkah penyelesaian. Pihak Komnas HAM juga telah memberi respon tertulis, melalui surat no. 1.895/ SKPMT/VII/99, tertanggal 29 Juli 1999, yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus tanah tersebut. Pada tahun 2001 ‘warga translok’ mengadukan reklaiming yang dilakukan oleh warga ke Kejaksaan Negeri Lumajang. Kejaksaan yang saat itu diwakili oleh Jaksa Suwito (Kejaksaan Tinggi di Surabaya) memanggil para pihak terkait untuk dimintai keterangan di Kejaksaan Negeri Lumajang, namun pasca pertemuan hingga sampai hari ini tidak ada lagi panggilan dan proses hukumnya. Ironisnya, dalam kasus sengketa agraria ini, pihak TNI dan Polri telah terlibat dalam melakukan intimidasi kepada warga.

Menyikapi persoalan tersebut berbagai upaya advokasi telah dilakukan oleh warga di antaranya adalah; pada tanggal 21 Maret 2018 perwakilan dari Koppas menyampaikan pengaduan ke Komnas HAM dan juga menyampaikan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Jawa Timur terkait adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepala Desa Pandanwangi. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut baik dari Komnas HAM maupun Ombudsman.

Berdasarkan uraian tersebut bahwa tindakan pemotokan jelas-jelas bukan dalam rangka program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah, sehingga jelas akan membuat inkonsistensi kebijakan Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, yang seharusnya mempertimbangkan penyelesaian kasus melalui program tersebut. Pengabaian dan pendiaman atas persoalan yang dihadapi warga merupakan kategori tindakan yang mengabaikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, No. 39 Tahun 1999. Artinya, tindakan tersebut justru mencederai hak-hak rakyat atas tanahnya, mulai dari hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak, hingga hak atas kesejahteraan sosial, yang jelas merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia.

Selain itu, yang terjadi di desa Pandanwangi jelas bertentangan dengan Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah Republik Indonesia yang sasaranya meliputi: (1) Tersedianya landasan hukum yang memadai untuk pelaksanaan Reforma Agraria, untuk menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam konflik-konflik agraria; (2) Teridentifikasinya subjek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan kepemilikan dan penguasaannya dan cara-cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan; (3) Berkurangnya kesenjangan ekonomi dengan meredistribusikan lahan menjadi milik rakyat; (4) Pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan,dan penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru; (5) Tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat, daerah, dan desa yang mampu mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.

Untuk itu kami dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mendesak:

  1. Komnas HAM agar segera menindaklanjuti pengaduan warga dengan membentuk tim dan segera melakukan penyelidikan di lapangan;
  2. Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur agar segera melakukan pemeriksaan terkait adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepala Desa Pandanwangi;
  3. Pemerintah Kabupaten Lumajang agar segera memfasilitasi penyelesaian konflik yangdi hadapi warga;
  4. Kepolisian dan TNI agar tidak perlu terlibat dalam konflik ini.

Fatkhul Khoir
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya
081230593651

Sebarkan !