Refleksi Kritis Atas Proses Hukum Salim Kancil

Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, selama ini telah melakukan pemantauan (monitoring) sidang kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, dua orang aktivis lingkungan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar. Selain proses persidangan yang telah dimulai sejak 18 Februari 2016 dan sekarang sudah memasuki tahap akhir persidangan, proses persidangan yang cukup panjang dan memakan banyak waktu ini tidak begitu memperlihatkan keseriusan dalam mengusut pokok permasalahan yang justru menjadi penyebab utama pembunuhan dan penganiayaan.

Dalam hal ini, akar persoalan terjadinya pengeroyokan dan pembunuhan akibat dari adanya pertambangan pasir ilegal yang dilakukan oleh kepala desa Selok Awar-awar (Hariyono) berserta jajarannya, diantaranya ketua LMDH (Madasir), pertambangan pasir ilegal (illegal mining) di Lumajang sendiri telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penambangan yang terjadi di Lumajang, tidak mungkin dilakukan oleh kepala desa, namun pasca terjadinya peristiwa kekerasan pada tanggal 26 September 2015, polisi menetapkan sekitar 38 orang sebagai tersangka, tetapi polisi tidak cukup mampu untuk mengusut tuntas aktor intelektual di balik peristiwa dan siapa saja yang terlibat dalam penambangan pasir ilegal di Lumajang.

Selain itu, dalam persidangan belum terlihat adanya upaya yang serius dari hakim maupun jaksa penuntut umum untuk mengusut tuntas peristiwa kekerasan dan aktor intelektual dibalik terjadinya peristiwa pembunuhan dan penganiayaan, serta aktor intelektual di balik pertambangan. Persidanganan akan menjadi sia-sia jika hanya berputar-putar kepada beberapa terdakwa saja tanpa berusaha memperluas pemeriksaan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan munculnya pelaku baru, dengan begitu proses persidangan ini telah menambah permasalahan baru tentang pelanggaran hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 D ayat (1), dan semakin menegaskan bahwa perlindungan terhadap warga yang berjuang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya belum terjamin di negeri ini.

Pada tanggal 23 Juni 2016 kembali memasuki agenda pembacaan putusan; agenda sidang pembacaan putusan telah melalui proses penundaan, agenda yang seharusnya dilakukan pada tanggal 16 Juni 2016 namun batal dilaksanakan disebabkan terdakwa (Hariyono) pada saat dihadirkan dalam persidangan menyatakan bahwa dirinya sedang sakit. Terkait ketidakseriusan proses persidangan ini, beberapa fakta berhasil dikumpulkan oleh KontraS selama proses pemantauan persidangan, yaitu:

  1. Bahwa hakim yang menyidangkan tidak bersertifikasi lingkungan.
  2. Minimnya berkas kasus tentang pertambangan ilegal, yang justru menjadi pokok permasalahan dari pembunuhan dan penganiayaan terhadap kedua aktivis lingkungan (Salim dan Tosan).
  3. Bahwa dalam kasus pertambangan ilegal jaksa membagi berkas menjadi empat perkara nomor 366/PID.B/2016/PN.SBY (Madasir dan Koko), 367 PID.B/2016/PN.SBY (Eko, Slamet, Dodik, Hamim, Rudy, Edor, Widiyanto), 368 PID.B/2016/PN.SBY (Kusnul, Eriza) dan 369 PID.B/2016/PN.SBY (Hariyono) tidak satupun terdapat berkas yang menjerat para penadah hasil pasir ilegal dan hanya menjerat pelaku-pelaku lapangan, pemilik alat berat dan HarIyono sebagai otak kejahatan.
  4. Bahwa dalam penuntutan ada indikasi permainan yang dilakukan jaksa penuntut umum; untuk diketahui bahwa jaksa penuntut umum menunda sampai 4 kali jadwal sidang pembacaan tuntutan.
  5. Selama proses persidangan pertanyaan yang diajukan JPU terkesan asal tidak mencoba mendalami lebih jauh keterlibatan aktor di balik peristiwa dan menelusuri aliran dana hasil dari pertambangan.
  6. Tuntutan yang diberikan oleh jaksa tidak maksimal, pada kasus pertambangan ilegal, sesuai pasal 158 UU no. 4 tahun 2009 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” namun Hariyono sebagai otak kejahatan pertambangan ilegal hanya dituntut 6 tahun kurungan penjara.
  7. Penasehat hukum terdakwa beberapa kali masuk ruang hakim sebelum terjadinya proses persidangan.

Proses persidangan yang bertujuan menegakan keadilan seringkali berakhir tanpa keadilan, dan proses persidangan tanpa keadilan adalah bukti dari tindakan pelanggaran HAM tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terkait perkara ini, KontraS Surabaya menyimpulkan ada beberapa hal yang penting yakni sebagai berikut:

  1. Patut diduga, dalam proses persidangan pada kasus ini telah terjadi praktik peradilan yang tidak adil, atau unfair trial.
  2. Menuntut kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk tetap bertindak imparsial dan memberikan putusan dan hukuman yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban.
  3. Agar Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan atas proses persidangan perkara ini.

Fatkhul Khoir
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya
081230593651

 

Sebarkan !