Hentikan Perluasan Industri Ekstraktif, Selamatkan Ruang Hidup Rakyat

Konstitusi Indonesia telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harusnya dilindungi oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun, memperhatikan konflik-konflik agraria dan ekologi belakangan ini menunjukkan bahwa kewajiban negara menjaga kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. Pada kasus pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, penolakan yang telah dilakukan oleh rakyat melalui jalur hukum hingga sampai dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang, kemudian dikangkangi begitu saja oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dengan mengeluarkan izin baru.

Pembangkangan hukum yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo menunjukkan bahwa tidak ada komitmen pembelaan terhadap petani dan rakyat kecil di hadapan gelontoran investasi industri ekstraktif seperti PT Semen Indonesia. Padahal jika memperhatikan nawacita Presiden Jokowi, dengan jelas dinyatakan bahwa pemerintah ingin “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan” serta “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”

Pembiaran terhadap pembangkangan hukum yang ditunjukkan dengan ketidaktaatan terhadap putusan MA, dalam bentuk keluarnya Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017 tentang izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi telah gagal menjalankan agenda nawacitanya. Hal ini semakin memperburuk situasi konflik agraria dan ekologi yang terus muncul di berbagai wilayah akibat perluasan industri ekstraktif termasuk juga di Jawa Timur.

Di Jawa Timur, WALHI Jawa Timur mencatat bahwa sepanjang tahun 2016 saja setidaknya terjadi 127 kasus sosial ekologis yang berujung pada pencaplokan wilayah kelola masyarakat dan kerusakan lingkungan. Pencaplokan wilayah kelola masyarakat ini bisa dilihat dari luasnya lahan industri ekstraktif baik migas maupun mineral di Jawa Timur. Di sektor migas setidaknya tercatat 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan dengan status eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan yang sedang dalam status eksplorasi.

Sementara di sektor pertambangan mineral, data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementrian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016. Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektar, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektar. Dengan mengacu angka dalam dua dokumen ini maka *kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur telah mencapai 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja*.

Perluasan lahan pertambangan di Jawa Timur telah mendorong peningkatan konflik agraria dan sosial ekologis, misalnya di pesisir selatan Jawa Timur yang diproyeksikan menjadi sentra investasi pertambangan, sepanjang 2015 hingga 2016 konflik berbasis kasus pertambangan terus mengemuka. Masih lekat dalam ingatan kita pada 26 September 2015 lalu, 2 orang aktivis tolak tambang pasir di Desa Selok Awar Awar, Lumajang dibantai dan dianiaya sehingga menyebabkan satu orang bernama Salim Kancil meninggal dunia dan rekannya Tosan terluka parah. Kemudian pada 2 November 2015, truk yang diduga pengangkut pasir besi dihadang massa dan dibakar di Paseban, Jember. Lalu pada 26 November 2015 lalu, massa yang memprotes penambangan emas di Tumpang Pitu menghadapi kekerasan aparat yang membubarkan aksi mereka tembakan yang menyebabkan setidaknya empat orang terluka.

Oleh sebab itu, pembangkangan hukum, pelanggaran perijinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis dan pembiaran terhadap konflik-konflik berbasis agraria dan ekologi tidak bisa terus dibiarkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah kelola rakyat dan kawasan lindung yang rusak dengan bentuk peningkatan jumlah konflik agraria dan bencana alam setiap tahunnya. Jika Presiden Jokowi masih menganggap bahwa nawacita adalah prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, maka harus segera dilakukan perubahan dalam kerja-kerja pemerintah terutama terkait agria dan keselamatan ekologi. Jika tidak ada perubahan yang berarti dalam kepastian hukum terhadap petani dan rakyat kecil, serta terus terjadi pembiaran terhadap konflik-konflik agraria dan perusakan ekologi maka sesungguhnya Presiden Jokowi telah gagal menggenapi nawacitanya dan negara kembali absen membela rakyat.

Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria (Jelaga): WALHI Jatim, LBH Surabaya, KontraS Surabaya, LAMRI, GMNI Surabaya, SMI Surabaya, SLH Saunggalih Pasuruan, LDF, IMM Surabaya, Fordiskum FH UTM, FNKSDA Surabaya, Komune Rakapare, Aliansi Literasi Surabaya, Pusham Ubaya, Ecoton, Papan Jati, Aksi Kamisan Surabaya, LPM Retorika, AJI Surabaya, FSPMI Jatim, Pusham Surabaya, LPBP, HRLS FH Unair, PW Stren Kali Surabaya.

Narahubung: Rere Christianto
WALHI Jawa Timur
083857642883

Sebarkan !