1st Movie for Human Rights and Social Justice 2015

1 st Movie for Human Rights and Social Justice 2015

Center of Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan SEPAHAM INDONESIA Komnas HAM dan KontraS Surabaya mengadakan diskusi dan pemutaran Film SENYAP.

Pemutaran film ini bagian dari salah satu media pendidikan dalam pengembangan pembelajaran hukum dengan menggunakan film-film yang menyajikan tema-tema terkait. Tidak hanya dengan mempertontonkan suatu film, namun proses untuk diskusi pun perlu dibangun dalam rangka memperkuat daya nalar kritis, kepekaan serta kepedulian sosial, khususnya berkaitan dengan isu-isu yang memberikan nilai lebih bagi mahasiswa ataupun masyarakat untuk belajar hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Kisah-kisah perjuangan, dokumenter dan paparan pelaku langsung, secara tak langsung akan memberikan perspektif sisi lain yang bukan semata berangkat dari buku untuk memahami realitas. Realitas itu berangkat dari persoalan-persoalan kebuntuan dalam memahami bekerjanya hukum, lahirnya hukum itu sendiri, hingga diskriminasi atas penegakan hukum yang seharusnya dan senyatanya.

Dengan visual, film-film akan relevan dan perlu dikaji dalam perspektif akademik, terutama berkaitan dengan keilmuan hukum teoritis dan praktis.

Acara dilaksanakan pada hari senin 11 Mei 2015, Pemutaran film Senyap dan diskusi di ikuti oleh perwakilan LSM, Serikat Buruh, Mahasiswa, hadir juga dalam diskusi dari pihak kepolisian, setelah nonton bareng acara kemudian dilanjutkan diskusi oleh dua orang narasumber diantaranya , Nurkhoiron (Komnas HAM) dan Herlambang P. Wiratraman (Koordinator SEPAHAM Indonesia, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Dalam diskusi kali ini Herlambang P. wiratraman, mengatakan, bahwa film ini merupakan refleksi dari situasi untuk mengungkap tidak saja apa yang di tudingkan, film ini hanya sekedar menggungkap upaya pihak-pihak yang melakukan pembiaran dan melindungi pelaku kejahatan, juga untuk memecah kebekuan, bisa jadi kondisi ini juga terjadi di institusi pendidikan yang mereproduksi pengetahuan, bisa jadi terjadi di kondisi perkampungan, perkebunan dan juga di serikat buruh film senyap dalam dialog-dialognya berimpliaksi luas dalam filmya, punya dampak untuk membongkar, mungkin yang awal nya diam tidak menjadi diam, kita tidak ingin peristiwa kekerasan masa lalu tidak terjadi lagi, fakta didalam fil dialog yang terjadi antara Adi Rukun dan seorang bapak dan anak perempuan nya yang tadi sempat minum darah itu, menunjukkan cerita yang lugas dari seorang bapak yang pernah membunuh memengal kepala dan minum darahnya, bahkan anaknya sendiri sampai terperangah, ketika Adi Rukun bertanya dia mencoba untuk menutup kegelisahan dan salah tingkahnya, dia mengatkan kalau saya baruh tau kalau bapak minum darah, dalam waktu yang cepat dia hadir memposisikan diri sebagai yang mencoba memahami perasaan Adi Rukun dengan meminta maaf ya dik, itu petikan dialog dalam fim yang bisa kit a baca sebagai buah dari rekonsiliasi.

Rekonsiliasi bisa dibangun dengan dialog, membuka pintu maaf, ini menjadi penting bagi pondasi rekonsiliasi, proses hukum belum tentu bisa menjawab masalah yang menjadi problem masyarakat yang sudah terlegecy kekerasan yang begitu panjang prosesnya dan menyakitkan, rekonsiliasi harus segera difasilitasi dan tidak boleh menunggu, termasuk harusnya kampus, disisi lain herlambang juga kecewa ketika kampus tidak membuka ruang bagi terciptanya rekonsiliasi yang begitu penting untuk bangsa Indonesia menjadi pondasi yang anti kekerasan pondasi bagi pancasila yang benar-benar kemanusaiaan yang adil dan beradap.

Yang harus sungguh-sungguh diupayakan adalah memangkas mata rantai impunitas. Karena kasus 65 (pemberontakan G30S PKI tahun 1965) itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang kemudian dampaknya hingga sekarang yang paling serius adalah bertahannya sistem impunitas yang kemudian melahirkan potensi kekerasan. Bahkan kekerasan itu sendiri tetap mewarnai dalam konteks politik hukum di Indonesia hari ini.

Pelarangan aktivitas nonton film bertema HAM seperti “Senyap” di beberapa lembaga pendidikan, menjadi bukti bahwa upaya menjaga ideologi yang melahirkan kekerasan juga dilakukan institusi pendidikan, perguruan tinggi harus menjadi lembaga yang mampu memberikan pemahaman serta pencerahan kepada masyarakat, mengenai nilai-nilai yang benar dan berperikemanusiaan, “Sekalipun itu mandat politik negara, tapi lembaga pendidikan seperti university itu juga punya andil dalam membangun atau mengembangkan itu. Karena generasi kita kan melalui kampus, melalui lembaga pendidikan, sehingga menjadi penting dan vital bagi upaya memangkas proses-proses pembodohan di republik ini, Penyelesaian secara hukum maupun rekonsiliasi menjadi pilihan untuk memangkas rantai impunitas yang berimpilikasi pada tetap terpeliharanya tindakan kekerasan.

Muhammad Nurkhoiron mengatakan, terkait dengan pelarangan di kamus uanir dia agak kaget, lembaga pendidikan selevel unair melarang pemutaran film Senyap beliau menatakan dia tidak marah justru malah tertawa, seblumnya pelarangan film ini juga sempat terjadi di UGM dan UIN Jogja namun acara tetap berhasil dilaksanakan, dalam film Senyap hanya melihat dari satu lensa saja soal peristiwa 65, kita bisa melihat peristiwa 65 dari beragam kacamata, yang menjadi persoalan ketika tidak sepakat kenapa filmnya yang dilarang ini yang menjadi persoalan dalam demokrasi dan penegakkan HAM, yang jadi persoalan kita ini sudah lama di hegemoni oleh orde baru jadi seolah-olah kalau ada yang melihat peristiwa 65 dari kaca mata lain dianggap salah, ini justru yang harus diluruskan, kalau dilihat dari tap MPR No 5 tahun 2000 visi misi bangsa, didalamnya penting untuk membuka rekonsiliasi menyelesaikan persoalan HAM di masa lalu untuk melihat masa depan bangsa ini.

Dalam hal ini Nurkhoiron sangat menyangkan pihak kampus yang justru melarang pemutaran film Senyap dengan cara yang tidak cukup kreatif, pengalaman di UGM film ini pernah di diskusikan selama hampir 4 jam dan bayak juga kritik terhadap film ini tapi tidak lantas melarang film ini, tetapi jangan di tutup ruang perdebatan tentang isu yang diangkat dalam film tersebut.

Dalam hal ini kami di komnas ham diberi mandat dengan nama tim penyelesaian peristiwa pelanggaran ham masa lalu, kalau selama ini ada 7 kasus yang dokumen penyelidikan komnas ham yang bolak-balik dari kejaksaan komnas ham, kita disuruh cari jalan yang bersifat trobosan agar 7 kasus ini bisa terkomunikasikan dengan baik dan ada komitmen bangsa terkait penyelesaian pelanggaran ham di masa lalu, kemudian dalam tim tersebut melakukan bayak pendekatan yang sifatnya informal, dengan berdiskusi dengan kejaksaan agung, menkopolhukam, menkumham dan seluruh jajaran pemerintahan, bahkan sebelum jokowi terpilih, sebelum pemilu kami minta bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, waktu itu mensesneg mengatakan bahwa presiden tidak punya waktu untuk bertemu dengan pihak komnas ham, kejadian itu di bulan maret tahun 2014, artinya Presiden sebelum Jokowi tidak punya komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran ham masa lalu.

Agar masalah ini tidak berlarut-larut pada tanggal 10 desember tahun 2014 Presiden Joko Widodo sudah menyatakan sikap yang jelas, dia mau pidato untuk pertama kalinya yang tidak pernah dilakukan presiden sebelumnya kecuali Gus Dur dan mentakan komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran ham di masa lalu baik melalui Judicial atau Non Judicial, penyelesaian ini kedepan harus ada kepastian tidak ada perulangan kembali, pernyataan ini yang menjadi landasan bagi kejaksaan agung untuk menindaklanjuti.

Dalam hal ini komnas ham berharap agar endingnya tidak seperti kejadian pada saat era pemerintahan SBY, harusnya film ini juga didukung perspektif dan cara pandang peristiwa 65, kita perlu membuka cara pandang lain dalam memandang peristiwa 65, upaya yang bisa dilakukan presiden bisa saja misalnya dengan disupport oleh Komnas HAM, membentuk tim khusus dibawah Presiden, misalnya ini contoh ya. Dibawah Presiden dengan dia mengeluarkan Perpres atau apa, yang nanti tim ini menggodok (membahas) seluruh dokumen yang selama ini hanya jadi bola pingpong antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

Sebarkan !